Senyuman Kamu untuk Siapa, Nona?
12:12:00“Kenapa harus Aku? Emang apa sih istimewanya aku dibanding yang lain? Aku lihat kamu fine- fine ajah waktu deket sama yang...
12:12:00
“Kenapa harus
Aku? Emang apa sih istimewanya aku dibanding yang lain? Aku lihat kamu fine-fine ajah waktu deket sama yang lain.
Aku gak pernah ngerasa seistimewa yang kamu bilang,”
Tukinem masih
diam di pojok kamarnya sambil memegangi tisu. Ini adalah tisu ke sembilan belas
yang sudah dia pakai untuk menyeka air matanya yang terus keluar. Kata-kata
dari Sukarjo sore tadi masih berputar terus di kepalanya, sama seperti lagu
Setia Band yang selalu dia putar “repeat
the current song” di handphone
Nokia yang sudah empat puluh tiga kali dijadikan ganjelan pintu kamarnya.
Tukinem masih
tak percaya, Sukarjo akan mengatakan hal itu. Apa yang salah? Tukinem hanya
menyampaikan perasaannya, rasanya sudah tak tahan lagi untuk menahan semua
beban perasaannya selama ini. Sudah terlalu menumpuk, terlalu takut jika
perlahan perasaannya akan tercecer dan hilang disertai hilangnya kehadiran Sukarjo
dari harinya.
Tukinem hanya
ingin sebuah kepastian, kepastian dari sebuah perhatian yang sewindu ini telah
Sukarjo berikan padanya. Sapaan Sukarjo setiap Tukinem memulai harinya, ucapan
semangat setiap Tukinem menjalankan aktivitasnya, hingga sapaan manis pengiring
tidur Tukinem yang telah sukses membuat hati Tukinem berevolusi menjadi kebun
delapan belas hektar yang dipenuhi bunga warna-warni dengan kupu-kupu indah
yang menari diiringi lagu India dari handphone-nya.