TERNYATA INI BUKAN PUNCAK PAPANDAYAN! -PART 1-

Hingga saat ini saya masih tetap merinding melihat video konser L’Arc-en-Ciel Live Jakarta saat menyanyikan lagu “ My Heart Draws A Drea...


Hingga saat ini saya masih tetap merinding melihat video konser L’Arc-en-Ciel Live Jakarta saat menyanyikan lagu “My Heart Draws A Dream”, salah satu lagu favorit saya. Di video ini, nyaris semua Cielers (sebutan untuk fans Laruku) bernyanyi bersama Hyde (vokalis Laruku yang sekarang sedang asyik  ‘berpoligami’ dengan proyek solonya, VAMPS). Sungguh, suara Cielers yang jernih, dengan sangat harmonis sangat berhasil membuat lagu ini semakin terdengar manis. Mungkin saya harus sedikit senang. Ya sedikit, karena setidaknya berkat ketidakhadiran saya di sana, suara Cielers jadi terdengar seirama, tidak fals apalagi cempreng. (Ini edisi menghibur diri sendiri yang hanya bisa melihat keseruan Laruku di Youtube doang.. kasian emang. L )

Tepat minggu lalu, 2 mei adalah tepat 3 tahun L’Arc-en-Ciel mampir ke Jakarta, dan tepat 3 tahun saya masih menyesal. Saat itu, saya masih menumpang tidur di Cilegon, dan memang sudah sangat mengharapkan kehadiran band asal Jepang ini sedari SMK. Sampai akhirnya Band ini berkesempatan datang ke Jakarta, namun kemudian saya dihadapkan pada kegalauan selanjutnya. Saya tidak memiliki teman untuk berangkat dari Cilegon. Waktu konser yang tepat berada di pertengahan hari kerja, sama sekali tidak memungkinkan untuk pulang ke Bandung dan berangkat ke Jakarta bersama-sama teman dari Bandung. Ya, saya memang mendadak berubah menjadi manusia paling manja jika itu menyangkut perjalanan ke Jakarta seorang diri. Ditambah dengan kehadiran kerja lapangan yang mendadak membuat saya semakin yakin untuk memutuskan untuk tidak hadir ke konser Laruku, dan berimbas pada kehadiran rasa penyesalan yang masih betah berlama-lama di hati saya sampai saat ini.

Belajar dari penyesalan konser L’Arc-en-Ciel ini, sejak dahulu saya sangat bercita untuk dapat menginap di Gunung Papandayan dan mengintip bunga lestarinya (baca : edelweiss). Makanya, saat datang undangan untuk bergabung dengan teman-teman LARON, Teknik Industri ekstensi UNSIKA untuk menjenguk puncak Papandayan, tidak membutuhkan waktu lama untuk berdiskusi dengan otak, jemari saya langsung berinisiatif untuk menyentuh barisan huruf di keyboard chat membentuk sebuah kalimat, “YUK BERANGKAT‼”

****

Jumat, 3 April 2015,
Saya masih ingat, tanggal merah di kalender kamar tepat pada angka 3 di bulan April, hari Jumat. Ini adalah hari libur yang sangat diidamkan oleh seluruh kacung Indonesia yang sudah sangat merindukan suara damainya angin dari ketinggian, ketika telinga rasanya sudah terlalu jenuh oleh suara deru mesin di pabrik, knalpot butut dan klaksonan kendaraan yang gak sabaran di lampu merah kota, apalagi suara yang konon belakangan ini dianggap sebagai suara terseram se-jagad raya, “Kamu tuh baik banget, udah aku anggap kayak kakak aku sendiri.”

Fyi saja, mungkin teman-teman juga sudah tahu jika gunung Papandayan dari awal tahun 2015 hingga akhir Maret tahun 2015 ini ditutup sementara untuk pemulihan ekosistem, dan perawatan alam di sana, dan akan baru dibuka lagi di bulan April ini. Jadi, sebenarnya dapat dengan mudah diprediksi kondisi pendakian Papandayan saat dibuka kembali akan seperti apa? Ditambah dengan liburan dan adanya acara kemah bersama tim Jejak Petualang di sana. Pasti penuh, tapi namanya juga keinginan, daripada semakin penasaran maka kami tetap putuskan untuk berangkat.

Pukul 20.15, ditemani sekaleng kopi yang baru saja saya tukar dengan uang sepuluh ribu tapi masih dapat kembalian di minimarket samping jl. Buah Batu, Bandung. Saya menunggu di samping tol Buah-Batu sambil sesekali mengisap kopi yang ternyata sudah habis hanya dalam sepuluh menit, entah hilang terselip di lambung sebelah mana. Selanjutnya saya harus rela menunggu dengan potensi badan kemasukan angin yang sangat tinggi. Fyi, saat ini, Bandung masih musim hujan. Bandung mudah sekali ditebak, hampir setiap sore hujan, dan hanya malam ini saja cuaca sedikit bersahabat, dengan hanya menyisakan angin-angin yang hilir-mudik tak kunjung berhenti. Cuaca yang sangat rentan untuk para jomblo beraktivitas di luar ruangan saat malam hari.

Akhirnya, pukul 20.45 mobil yang teman-teman UNSIKA tunggangi dari Karawang hadir tepat di hadapan wajah saya. Perjalanan kami resmi dimulai, seiring dengan sambutan perkenalan dari 6 senyuman milik bapak Iwan supir mobil, Bang Toat, Bella, Agus, Teja, dan Fatkhan (yang sering saya ceritakan sebagai ‘Ucup’ di beberapa postingan cerita perjalanan saya sebelumnya. Di perjalanan ini akan saya sebut sebagai Fatkhan, ini sih menyesuaikan dengan temen-temen UNSIKA yang memanggil beliau dengan sebutan Fatkhan. Yaa,, kerenan dikitlah, bukannya membahagiakan teman itu adalah perbuatan mulia? J).

Menelusuri jalanan Bandung-Garut-Papandayan dengan berkiblat pada Google Maps, kami sampai di gerbang pendakian pukul 23.20 waktu Garut bagian dingin-dinginnya! Prediksi awal, bahwa akan banyak sekali pendaki yang datang pada hari ini ternyata tepat. Kami menjadi salah satu tim dari total 8.045an orang pendaki yang tercatat oleh tim Gunung Papandayan.

Awalnya saya mengira Bapak Iwan akan ikut naik, ternyata tidak, karena masih ada pekerjaan esok hari, Pak Iwan pulang menyisakan kami berenam yang saat ini sedang mendirikan tenda di area parkir Papandayan untuk beristirahat sebelum melanjutkan pendakian esok pagi.

Oh iya, bulannya tampak penuh dan terang sekali malam ini. Kabarnya gerhana bulan merah akan nampak esok hari. dan itupun yang menjadi motivasi berlebih saya untuk mendaki saat ini. Semoga ini pertanda baik untuk cerita pendakian kami.

Dari samping kiri ke kanan : Fatkhan Ucup, Mas Che (saya), Teja, Bang Toat, Agus, dan Bella.


****

Sabtu, 4 April 2015,
Ini entah cukup penting atau tidak untuk saya tulis disini.
SAYA TIDAK BISA TIDUUURR‼
Semalaman saya satu tenda dengan Bella, mencoba untuk tidur dari jam satu dini hari. Mata sudah merem, telinga masih saja terbuka. Pendaki bersama kendaraan yang mereka tumpangi terus berdatangan. Berisik? Pasti. Tenda kena sorot lampu berapa kali? Ratusan! Jangan tanya lagi.

Saya masih ingat, berulang kali saya cek jam tangan, hingga jam 03.30 saya sudah tidak kuat lagi. Saya coba keluar tenda, suara gaduh di luar, dan tenda Fatkhan cs pun sama, tidak bisa tidur, yang jelas area parkir yang tadi masih agak lengang, sekarang sudah penuh dengan mobil. 

Rombongan yang ada di depan tenda melihat saya yang keluar tenda, mungkin mereka sadar jika suara mereka telah mengganggu jam tidur orang, mereka langsung pergi ke tempat lain. Nah, bermula dari sinilah, saya benar-benar bisa tidur dengan nyenyak.

Pukul 07.15, selepas sarapan energen dan beberapa potong roti beserta cemilan, kami berdoa bersama, lalu berangkat.

Sabtu pagi ini kami seperti jalan sehat di Car Free Day, penuh banget bos!
Di sepanjang jalan awal, kami menelusuri jalan yang dipenuhi bongkahan batu belerang, dan di sisi kiri, Tuhan menyajikan kami jamuan hamparan bukit dan kawah yang mengepul dengan bau khas Sulfur-nya. Fyi, saya lebih senang menyebut ini area kentut gratis. Kami bisa bebas kentut tanpa takut ketahuan, karena bau gas Hydrogen Sulfide yang dihasilkan oleh bokong kamu bakalan kalah sama gas Hydrogen Sulfide yang dihasilkan kawah, karena kawah memiliki kadar sulfur yang lebih tinggi. Kecuali, kalo kamu puasa kentut satu bulan, kemudian gak tahan untuk batalin puasa kentut di sini, akumulasi baunya pasti dapat mengalahkan kawah secara telak.

pendaki yang berbaris
ini udah cocok kalo dijadiin cover film apalah gitu

Melanjutkan lagi perjalanan setelah tiga puluh menit kami berjalan, kami istirahat sebentar, dengan rute yang lumayan menanjak dengan beberapa kali ‘bonus’ (kebanyakan malahan). Kami melewati tempat perkemahan Guber Hut (kalo gak salah), disini sudah banyak tenda yang berdiri. Takut tidak kebagian tempat, kami percepat jalan menuju Podok Saladah (rencana tempat berkemah kami).

Pukul 9.20 an kami sampai di Pondok Saladah, waktu perjalanan selamma kurang lebih 2 jam ini tentunya kami tempuh setelah beberapa kali berhenti untuk foto-foto. Wahaha.. jangan ditanya lagi, banyak apa enggak yang berdiriin tenda di Pondok Saladah.. Buanyaak buangeett!!


ini kondisi Pondok Saladah saat kita baru sampai

Mendirikan tenda. Saya baru sadar, ternyata kami tidak membawa fly sheet. Pertanda buruk sebenarnya, tapi melihat cuaca yang cerah, saya hanya berharap semoga hari ini hingga minggu tidak turun hujan. Pliss ya Tuhan, awan-Mu bukan gebetan yang suka php kan yak?

Keluarkan perbekalan makanan, masak-masak ala chief dadakan, kami sarapan. Selama sarapan ini, kami merencanakan untuk berangkat untuk ‘muncak’ siang menjelang sunset, agar dapat sunset di puncak, dan esok (jika bisa) berangkat lagi shubuh untuk mengejar sunrise, tentunya berangkat gantian, karena harus ada yang tinggal untuk berjaga di tenda.

Selesai sarapan, saya, Bella, Agus, dan Bang Toat jalan-jalan sebentar ke hutan mati. Fatkhan istirahat di tenda bareng Teja. Cuss,, berhubung banyak juga rombongan yang menuju ke hutan mati, kami berjalan mengikuti mereka. Ternyata dari Pondok Saladah menuju ke hutan mati harus melewati sebuah rawa kecil (atau lebih kayak kolam lumpur yak?) terlebih dahulu, hingga sampai di sebuah tanah lapang yang ditumbuhi bunga edelweiss walaupun jumlahnya tidak begitu banyak dan belum bermekaran, kemudian ‘agak’ masuk ke dalam hutan kecil (saya menyebutnya sebagai hutan kecil, untuk memudahkan membedakan area hutan ini dengan hutan mati. Bedanya, di hutan kecil ini, selain dipenuhi oleh pohon-pohon mati/ tidak berdaun, tapi juga masih terdapat banyak pohon yang masih berdaun hijau lebat. Sedang pada hutan mati, hanya dipenuhi dengan pohon-pohon mati atau tidak berdaun hijau. Sehingga semua pohon di hutan mati ini terlihat sama semua). Saya masih ingat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari tumpukan batang pohon besar kami lalui untuk sampai di hutan mati. Jembatan dari batang pohon ini menghubungkan tanah hutan kecil dan tanah hutan mati.

Ada kurang dari 1 jam untuk kami sampai di hutan mati. Saya baru sadar, ternyata marka (tanda jalur agar tidak tersesat, biasanya berupa pita yang dipasangkan di batang pohon) hampir tidak ada. Saya bilang disini hampir tidak ada, karena hanya berjumlah sedikit dan penempatannya pun acak (mungkin karena pemasangan marka dari beberapa alternative jalan).

Pohon-pohon di hutan mati yang terlihat hampir sama semua pun, seakan mampu untuk ‘melenyapkan’ marka jalan. Namun, jalan ke hutan mati yang hanya satu arah, dan berjalan mengikuti jalur saja, sebetulnya sangat mudah untuk dihafalkan, dan tiba di sana tanpa tersesat.

Kami beberapa kali berhenti, dan berfoto disini, kapan lagi ketemu dengan gunung yang komplit. Ya, komplit, ada deretan pohon, hamparan bukit, pohon edelweiss, dan hutan mati, dan jangan lupakan kawahnya. Rasanya Papandayan merupakan kombinasi dari beberapa ‘menu’ yang disuguhkan gunung-gunung lainnya.

Kami dimanjakan dengan hamparan pemandangan yang tidak bisa saya ungkapkan. Bisa dilihat di bawah ini.. silakan.. :P

ini di 'hutan kecil'
ini masih di 'hutan kecil'

ini baru hutan mati

ini dia di ujung bukit hutan mati, tolong fokus ke background-nya saja, jangan ke wajah saya. -_-

Pukul 11.15 tidak terasa, kami pulang lagi ke tenda untuk menyiapkan makan siang. Sampai di Pondok Saladah pukul 11.50 kami disambut dengan gerimis, yang tak butuh waktu lama kemudian disusul dengan hujan yang berhasil membuat teman-teman kelompok pendaki lainnya berlarian heboh merapikan fly sheet di tenda-tenda mereka. Sedangkan kami? Masuk ke tenda, berdoa agar tenda baik-baik saja tanpa fly sheet.

****

Pukul 13.15 saya terbangun dari tidur, setelah sadar, sekeliling dinding tenda sudah basah, termasuk jaket, tas dan sleeping bag saya pun bernasib sama. Sialnya, yang paling saya khawatirkan terjadi, tas kamera saya basah. Saat saya cek, lensa kamerapun sudah berembun. Sial!

Saya dan Bella sibuk mengelap dinding tenda dengan baju dan handuk. Jas hujan yang telah saya atur untuk menutupi dinding tenda ternyata tidak begitu banyak membantu. Pun begitu nampaknya dengan tenda sebelah, Fatkhan dan teman-teman lainnya tampak riuh. Ternyata keadaannya jauh lebih buruk, tenda mereka sampai tergenang air.

Kami buat rencana dadakan. Jika kami tetap bertahan dengan kondisi peralatan berbekalan basah seperti ini jelas tidak akan baik. Kami khawatir akan turun hujan yang lebih deras lagi, maka tamatlah tenda kami. Berhubung kami sudah jauh-jauh sampai di sini, sayang jika langsung turun sekarang, tanpa menengok puncak. Kami rencanakan untuk naik ke puncak sekarang, selepas puncak, langsung turun ke bawah untuk bermalam di pos atau di area parkir bawah, agar lebih aman.

Menurut info yang kami dapatkan dari pendaki lainnya, dari Pondok Saladah ini, hanya memerlukan waktu sebentar saja untuk sampai ke puncak, paling lama sekitar dua jam. Maka, saya, Teja, Bella, dan Fatkhan bersiap ke puncak dengan hanya membawa air minum yang masing-masing dari kami membawa 1 botol 600 mL, dan di dalam kantong celana saya sudah ada head lamp, dan tang multi yang didalamnya terdapat pisau, obeng, dan lampu emergency, entahlah sudah terbiasa bawa dua barang ini kemanapun jika sedang tracking, untuk jaga-jaga.

Kami rasa tidak perlu membawa makanan, karena kami baru saja makan siang tadi. Jadi kami hanya membawa sisa camilan dan satu batang cokelat, rasanya itu sudah cukup untuk berjalan ke puncak dan turun lagi saat sore, agar sudah dapat sampai kembali di tenda sebelum Maghrib. Sedangkan Agus dan Bang Toat memilih berdiam di tenda, untuk beres-beres dan mengeringkan tenda.

****

Pukul 14.30-an saya, Fatkhan, Bella, dan Teja berangkat ke puncak. Nampaknya rute mudah, seperti rute yang saya dan Bella lalui siang tadi. Kami hanya berjalan melalui rawa-hutan kecil-hutan mati, kemudian tinggal mengikuti marka jalan dan sampailah di puncak. Oke, kami siap.

Melewati rawa, memasuki hutan kecil, masih banyak pendaki yang melalui jalan ini untuk (mungkin) menuju hutan mati saja. Kondisi jalanan saat ini becek dan licik, akibat hujan tadi. Syukurlah saat ini hanya tinggal gerimis, dan kami sudah berbekal jaket dan jas hujan, nampaknya akan baik-baik saja.

Di hutan kecil, kami bertemu dengan dua orang bapak-bapak, saya sebut bapak-bapak karena nampaknya memang seumuran om-om kami. Hhehehe.. mereka mau ke puncak juga. Niat mau barengan, ternyata selama di perjalanan kami malah saling mendahului, percis mobil di jalan tol. Serius. Kadang kami berjalan terleebih dahulu di depan, terkadang bapak-bapak tersebut malah tiba-tiba sudah berada di depan kami.

Dari hutan mati, kami mengikuti marka ke atas. Jalan mulai sangat licin dan curam. Beberapa rombongan nampak sudah turun. Sepertinya kami menjadi rombongan yang naik ke-sore-an. Tak apalah yang saya fikirkan selama di jalan adalah view pemandangan ‘matahari merah’ saat gerhana. Walaupun saya tidak membawa kamera karena takut terkena hujan, setidaknya saya sudah bawa android yang sudah saya atur dalam flight mode sejak di pondok saladah tadi, untuk menghemat baterai. Semangat semakin menjadi, saat rombongan yang turun berkata pada kami “Ayo dekat lagi, 5 menit lagi puncak! Masih ada dua rombongan lagi di atas, mereka kayaknya mau kemping di sana.”

Great! Langkah kami semakin cepat.

****

PUNCAK‼‼
Pukul 15.30! tulisan “LADANG ARUN” tertulis di hadapan mata kami. Sekeliling kami dipenuhi oleh Edelweiss yang belum bermekaran. Di ujung hutan yang menghadap ke ladang arun ada satu tenda berwarna orange. Kata pendaki yang kami temui di jalan tadi, ada dua rombongan yang berkemah, lah satu lagi mana?

Saya jadi ragu, apa benar ini puncak Papandayan ya?

Jika mendengarkan kata-kata dari rombongan yang terakhir bertemu dengan kami barusan, 5 menit sedari tadi adalah tempat ini, Ladang Arun. Tapi, masa iya Ladang Arun adalah puncak Papandayan?
Yang saya tahu, setiap puncak gunung selalu ada papan penanda puncak gunung, tapi, di sini tidak ada. Sudahlah, kami berfikir mungkin di sini berbeda dengan puncak yang lain. Sekarang, mari ambil foto sebagai oleh-oleh dahulu. 


Tegal Alun

Pukul 16.00,
Sudah mulai hujan kembali, kami bergegas untuk kembali turun. Namun, tiba—tiba dari jauh, ada suara dari bapak-bapak yang sempat bertemu dengan kami di bawah tadi.

“Woy, ngapain? Ayuk puncak dikit lagi!” teriak bapak itu.

Kami saling berpandang, bukan drama, tapi sungguh ini terjadi. Keadaan hening sejenak, sebelum kami kembali bergegas.

TERNYATA INI BUKAN PUNCAK PAPANDAYAN!

Kami langsung berjalan kembali, menyusul dua bapak-bapak itu, ternyata, posisi mereka sudah berada jauh di depan.

****

Kami percepat langkah, berhubung jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.00, takut terlalu gelap saat turun nanti. Sekarang, kami harus berhasil menyusul dua Bapak tadi, sebelum kehilangan jejak mereka, tentunya agar dapat berangkat bersama sampai puncak, dan turun cepat.

Di ujung bukit Ladang Arun, kami bertemu dua Bapak tadi yang sedang bersiap untuk turun ke arah sungai kecil.

“Sebelum ke puncak kita harus turun ke bawah, menyeberangi sungai kecil, terus naik lagi. Puncaknya ada di bukit ke tiga.” Kata bapak yang menggunakan topi sambil menunjukkan arah barisan bukit-bukit, dan bukit urutan ke tiga yang dimaksudnya sebagai puncak Papandayan.

Dua bapak itu berjalan turun ke arah sungai terlebih dahulu, disusul saya, Teja, Bella, dan Fatkhan. Trek jalan menuju sungai berupa tanah merah yang ternyata cukup curam dan sangat licin akibat hujan. Baru saja Bapak yang menggunakan topi mengingatkan saya untuk berhati-hati karena jalan licin, beliau malah langsung tergelincir sampai bawah. Saya yang melihatnya langsung berhenti di tengah trek, dan menepi terlebih dahulu ke samping hamparan kebun edelweiss. Saat saya melihat ke belakang, ternyata Teja, Bella dan Fatkhan masih tertinggal di atas, kaki Teja keram. Kami berhenti sebentar, untuk memberi krim penghangat pada masing-masing kaki kami agar tetap hangat. Fyi, saat ini sudah mulai hujan, kami hanya mengenakan sandal, tidak memakai sepatu karena berfikir puncak sudah dekat. Alhasil, suhu tangan dan kaki kami mulai drop, ditambah dengan jaket yang mulai terbasahi hujan. Selesai mengolesi kaki kami dengan krim, dua bapak tadi sudah tidak terlihat.

Setelah Teja menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan perjalanan, kami berjalan lagi. Turun menyeberangi sungai kecil, lalu naik lagi ke bukit pertama dan mulai memasuki hutan. Saat memasuki hutan, saya menemukan matras yang tadi di bawa oleh salah satu bapak tadi. Ya, saya masih ingat, matras yang berwarna abu ini dibawa oleh bapak yang memakai topi, mungkin tidak sengaja terjatuh. Saya berinisiatif untuk membawa matras abu ini untuk kemudian saya kasihkan kembali saat bertemu di puncak nanti. Siapa tahu kami bisa meminta sedikit camilan, dan ngopi bareng di atas nanti sebagai timbal baliknya. #okesip

Hanya butuh lima menit berjalan di dalam hutan, bisa saya simpulkan bahwa selama teman-teman pendaki datang ke Papandayan, pasti hanya sedikit saja yang memutuskan untuk menuju puncaknya, karena trek menuju puncak ini sangat tidak terawat. Terlihat dari banyaknya rumput dan semak-semak yang menghalangi jalan, akar-akar dan batang pohon pun banyak berseliweran menghalangi jalan. Trek ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi jalan di bawah (baca : dari pondok saladah ke hutan mati). Mungkin jika banyak pendaki yang melewati trek ini, batang pohon, semak dan rumput, apapun yang menghalangi trek akan sedikit berkurang atau bahkan tidak ada karena sudah habis ditebasi, agar tidak menghalangi jalur pendakian.

Pohon-pohon yang tinggi di sepanjang hutan ini membuat hutan sedikit gelap, ditambah hujan, dan angin yang membuat tangan saya mulai terasa mati rasa. Sepanjang jalan tak henti-hentinya saya meniupi tangan saya, berharap uap dari tenggorokan saya dapat menaikan sedikit suhu di tangan saya, walau nampaknya tak terlalu berefek.

Jalan terus menanjak, terkadang kami temui jalan yang sedikit datar dan berkelok mengikuti marka jalan. Hingga kami di hadapkan pada pertigaan jalan, di samping sebuah pohon besar dengan daun-daun kecil lebat yang menjuntai ke bawah berwarna merah, entahlah saya tidak tahu nama pohonnya apa? Dari pertigaan ini, kami memutuskan untuk belok ke arah kanan sesuai dengan marka. Begitu belok ke kanan, terdapat batang pohon besar yang cukup panjang yang terhampar sepanjang kira-kira 5 meter di atas permukaan trek, sehingga kami berjalan dengan menaiki batang pohon yang agak licin ini.

Turun dari batang pohon tersebut, jalan terasa semakin menepi ke arah kanan, yang tak lain mengarah pada samping bukit. Kami berjalan di jalan setapak, sebelah kanan kami adalah terusan sungai yang memisahkan Ladang Arun dan Bukit ini, yang telah kami lewati tadi. Hanya saja, lokasi kami yang sudah berada di atas, menjadikan letak sungai ini berada sangat curam di samping kanan kami, kami harus lebih berhati-hati.

Semakin kami mengikuti arah ini, semakin kami berjalan ke samping kanan, dan menurun. Saya mulai curiga, jangan-jangan ini adalah jalan memutar ke arah Tegal Alun, atau jangan-jangan ini adalah jalan pendakian ke puncak Papandayan jika berangkat dari arah Tegal Panjang?

Rasa curiga saya semakin kuat ketika ternyata Teja pun memikirkan hal yang sama.

“Kok jalannya perasaan makin ke samping, dan turun ya?” gumam Teja pelan.

Saya melihat ke belakang, posisi Bella dan Fatkhan agak jauh di belakang. Saya dan Teja memelankan laju langkah kami, sembari terus meyakinkan bahwa kita tidak salah jalan.

“Iya Ja, kita ikutin jalan dulu aja. Tadi markanya beneran ke arah kanan kan?” usul saya, yang kemudian di iyakan oleh Teja.

Hanya beberapa langkah setelah keragu-raguan kami. Perhatian saya yang berada di barisan paling depan, tertuju pada dua pohon edelweiss yang terdapat di samping kanan dan kiri jalan, hampir menutupi jalan, kemudian di antara kedua edelweiss tersebut terdapat jaring laba-laba yang menghalangi jalan. Saya berhenti disana.

“Tadi sebelum kita sampe sini, di depan kita udah ada dua bapak-bapak yang jalan duluan kan? Kalo mereka jalan ke arah sini, harusnya gak ada jaring laba-laba ini,” kata saya ke Teja, Bella dan Fatkhan, Saya agak berat untuk mengucapkan kata yang ingin saya sampaikan selanjutnya….

“Kita salah jalan!”



≫≫> bersambung di PART-2


Baca Juga yang Ini

0 komentar