TERNYATA INI BUKAN PUNCAK PAPANDAYAN! -PART 2-

“Tadi sebelum kita sampai sini, di depan kita udah ada dua bapak-bapak yang jalan duluan kan? Kalo mereka jalan ke arah sini, harusnya g...


“Tadi sebelum kita sampai sini, di depan kita udah ada dua bapak-bapak yang jalan duluan kan? Kalo mereka jalan ke arah sini, harusnya gak ada jaring laba-laba ini,” kata saya ke Teja, Bella dan Fatkhan. 
Saya menghela nafas sebentar, mereka masih menatap saya dengan serius menunggu lanjutan kata yang ingin saya sampaikan, “Kita salah jalan!”

“Jadi mau gimana nih? Udah jam berapa sekarang?” tanya Teja.

“Jam 16.20,”

“Gimana jadi?”

“Mau balik lagi nih kita?”

“Yaudah balik lagi aja ke pertigaan yang ada pohon merah tadi. Kita beloknya ke kanan kan tadi? Nah, sekarang kita pilih jalan yang ke kiri, terus ke atas,” ini saya yang usul. Entah apa yang sedang saya fikirkan saat itu, padahal hari sudah sore, dan kami tidak tahu untuk sampai di puncak butuh waktu berapa lama lagi.

“Yaudah ayuk. Sayang juga kan, udah ke sini, tapi gak sampe ke puncaknya. Ayuk.. Ayukk..” seperti biasa Bella yang paling semangat, langsung mengiyakan.

Teja juga langsung mengiyakan. Fatkhan tidak komen apapun, itu artinya iya, ngikut saja.

Kami balik lagi, posisi masih sama, saya di depan, Teja barisan ke dua, Bella ke tiga, dan terakhir Fatkhan. Kami menelusuri jalan tadi, hingga sampai di pertigaan yang ditandai dengan pohon berwarna merah. Kami ambil jalan lurus (berbalik arah dari arah perjalanan awal). Benar saja, ada marka jalan disana. Marka jalannya terdapat setelah belokan jalan, pantas saja jika tadi kami tidak melihatnya.

Dari jalan ini, marka terlihat jelas, jalan terus menanjak, melewati batu-batuan, jalan semakin sempit karena banyak dipenuhi oleh daun-daun pohon, akar-akar liar, dan batang pohon tumbang yang menutupi jalan.

Sekitar pukul 17.00, kami terus berjalan dengan hanya beberapa kali berhenti untuk istirahat, itu pun sebentar. Setiap kali berhenti tidak pernah lebih dari lima menit. Hingga kemudian kami mendengar suara dua Bapak tadi dari atas.

“Wooyy.. Puncak nih Puncak‼” teriak bapak itu, suaranya sangat jelas terdengar di telinga kami.
Nafas kami lega, suara Bapak itu sudah terdengar jelas, itu artinya perjalanan menuju puncak sudah sangat dekat.

“Woyy.. Tunggu kita nyusul‼!” balas teriakan kami.

“YOOOO‼” balas Bapak itu lagi.

Suara dari dua bapak itu, seakan menjadi energi baru yang menambah semangat, setelah tadi kami hampir menyerah sampai di puncak. Kami segera mempercepat langkah kami. Tak lama, saya melihat cahaya dari atas yang cukup terang, dan tidak terlihat ada pohon lagi di atas. Tidak mungkin salah lagi, pasti itu puncaknya!

Saya mempercepat langkah saya, setelah menginformasikan pada Teja, Bella, dan Fatkhan jika puncak sudah terlihat. Mereka pun ikut mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya kami sampai di atas dan..

Ini bukan Puncak Papandayan, ini hanya puncak bayangan! Damn!

view dari puncak bayangan
*kalem*

Istirahat sebentar di sini, sebelum kami melanjutkan perjalanan.

****

Rute selanjutnya banyak berkelok, tak jarang kami harus menunduk karena terhalang oleh dahan pohon landai, ataupun ranting dan batang pohon yang menghalangi jalan.

Tepat saat terdengar suara takbir, kami bertemu dua bapak tadi. Mereka sedang berjalan turun. Saya langsung memberikan matras yang saya temukan saat memasuki hutan tadi, ternyata benar matras ini adalah milik si bapak yang bertopi.

“Buruan, udah gak ada siapa-siapa lagi. Kalian rombongan yang terakhir.”

Kata-kata dari bapak itu, membuat kami semakin mempercepat langkah kami, dan membuyarkan harapan kami untuk duduk-duduk, apalagi istirahat dahulu sambil memakan cemilan dan ngopi bareng bapak ini. Saya sempat berfikir bapak-bapak ini akan menunggu kami untuk turun bersama, ternyata tidak.

Tepat Maghrib, jam tangan saya menunjukkan pukul 17.43, dengan kondisi baju, jaket dan celana sudah sangat basah, dan air dari daun-daun pepohonan yang memenuhi jalan tadi. Kami mengambil beberapa photo di puncak, kemudian segera bergegas untuk turun, sebelum jalan benar-benar gelap, karena kami khawatir akan kembali tersesat di pertigaan pohon merah tadi, ditambah dengan penerangan yang sangat kurang. Hanya saya yang membawa headlamp, dan Teja membawa senter itu pun dengan kondisi baterai bekas, sedang Bella dan Ucup hanya mengandalkan penerangan dari handphone dan emergency lamp tang multi.

ini foto muncak kita.. yeaahh!!

Berdoa sejenak agar diberi kelancaran dan keselamatan selama perjalanan kembali ke tenda, pukul 17.50 kami turun dengan posisi yang sama dengan saat naik, saya di depan, kemudian Teja, Bella, dan Fatkhan di paling belakang.

ini view di puncak saat kita turun. 
Keterbatasan penerangan membuat kami jalan perlahan, saya fokus ke arah depan membuka dan melihat marka jalan, Teja berjalan sambil sesekali mengarahkan lampu senter ke belakang untuk membantu penerangan Bella dan Fatkhan yang kurang. Sepanjang jalan kami saling berkomunikasi untuk memberikan peringatan apabila terdapat dahan pohon, batang pohon, jalan yang curam, atau apapun yang menghalangi perjalanan.

Syukurlah marka terlihat dengan jelas. Kami berhasil sampai dengan pertigaan pohon merah yang sempat kami khawatirkan. Perjalanan pun lancar hingga kami sampai di muka sungai kecil menuju Tegal Alun. Rasanya angin terasa semakin dingin, badan saya mulai menggigil dan tangan saya sudah sangat terasa kaku. Sepanjang jalan terus saya gesek-gesekan kedua telapak tangan saya sambil terus saya tiupi udara dari mulut.

Tepat sesaat setelah menyeberang sungai, dan hendak naik ke Tegal Alun, senter Teja berkedip lemah, kemudian mati. Jam saya sudah menunjukkan pukul 18.30, sekeliling sudah sangat gelap. ini artinya cahaya yang benar-benar bisa diandalkan hanya tingga satu, cahaya dari headlamp saya. Kami harus benar-benar bergegas sebelum headlamp yang saya pakai mati juga.

Mulai dari sini, saya berjalan perlahan, melangkah beberapa langkah ke atas Tegal Alun sambil mencari jalan yang tidak licin dan aman untuk di lalui, kemudian berbalik untuk memberikan penerangan ke belakang. Dan begitu seterusnya hingga akhirnya kami sampai di atas tegal Alun.

Saya masih ingat, saat di Tegal Alun sore tadi, kami berjalan mengikuti setapak jalan berwarna kuning akibat dilalui air Belerang, ya mungkin jalur air, atau apalah. Sehingga, begitu sampai di Tegal Alun kami langsung mencari jalan yang berwarna kuning. Begitu terlihat, kami langsung berjalan mengikuti jalur air itu.

Untunglah pencahayaan dari Bulan malam ini sangat terang, sehingga perjalanan menjadi lebih cepat, karena saya tidak harus berbalik berulang kali ke belakang untuk memberikan pencahayaan. Satu hal yang kemudian saya khawatirkan di sini adalah saat Fatkan tiba-tiba membacakan ayat suci dengan suara yang agak dikeraskan. Entahlah, seharusnya saya lebih merasa aman dan tenang tapi ini malah sebaliknya. Saya jadi ingat kembali kejadian saat saya dengan Andes dan Riri menuruni puncak Mega, gunung Puntang, saya membacakan doa dengan suara yang agak dikeraskan saat diperlihatkan ‘sesuatu’ hingga badan saya terasa sangat lemas. Saat ini pun saya menduga jika Fatkhan mengalami hal yang serupa. Dalam hati, saya ikut melantunkan doa sepanjang jalan dan mempercepat langkah kaki saya. Dan terus mencoba untuk menghilangkan fikiran yang tidak-tidak.

Jalan kuning ini menuntun kami menuju samping ujung Tegal Alun ke muka hutan. Tenda orange tepat terlihat di hadapan kami, tempat yang kami tandai saat naik sore tadi. Ini sangat melegakan kami, artinya kami tidak tersesat.

Sebentar menyapa si yang empunya tenda, dan bertanya untuk memastikan jika jalan menuju hutan mati adalah benar menuju jalan yang ada di hadapan kami.

“Ke hutan mati tinggal lurus, turun ikutin jalan ini,” kata si empunya tenda sedikit teriak dari dalam tenda.

Tanpa menunggu lama, kami berjalan turun mengikuti jalur. Trek menuju hutan mati ini sudah sangat basah dan gelap, sehingga saya harus perlahan dan berulang berbalik ke belakang untuk membantu penerangan.

****

Terus berjalan, pancaran lampu-lampu tenda dari kejauhan sudah terlihat berkelap-kelip. Kami pun terus berjalan mengikuti arah lampu-lampu tenda tersebut. Hingga di suatu turunan kami dihadapkan pada dua belokan. Tak ada marka yang menunjukan kami harus ke kanan atau kiri. Dan saya pun baru menyadari, sedari masuk ke hutan mati tadi, kami tidak menemukan satu pun marka jalan.

Kami coba ke arah kiri terlebih dahulu, dan ternyata jalannya sangatlah curam, ketika di senter lebih dekat ternyata jalan ini mengarah ke dalam jurang. Kami pun berbalik dan coba berjalan ke belokan yang sebelah kanan, dan ternyata sama. Curam, ini pun jalan mengarah ke jurang.

Mulai cemas, saya dan Teja memastikan kembali ke kiri dan kanan jalan, apakah ada jalan lain di samping jurang, ternyata memang benar tidak ada. Kami berkumpul kembali, saling memenangkan diri, karena memang saat ini kami sudah cukup cemas. Ditambah dengan stok minuman apalagi cemilan yang sudah habis. Kami berdoa kembali agar diberikan kelancaran, petunjuk jalan, dan dapat kembali dengan selamat, tanpa kekurangan satu hal pun.

“Ya Allah, beri petunjuk kepada kami. Ampuni dosa-dosa kami  apabila kami melakukan kesalahan selama di sini, dan Apabila kami melakukan sesuatu yang kurang ajar dan tak berkenan di sini. Selamatkan kami, tunjukan jalan untuk kami dapat kembali ke tenda berkumpul kembali bersama teman-teman kami yang pasti sudah khawatir menunggu kami sedari tadi. Aamiin,” doa yang dipanjatkan Teja di tengah hujan rintik dan hembusan angin ini sangat menyentuh.

Bukan drama, saya benar-benar merasa lemah dan bersalah. Jika saja tadi sore saya tidak mengusulkan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak, pasti sekarang kami sudah berada di tenda, sedang menyantap makan malam, bercanda, saling menghina, guyon, dan tertawa, tidak kedinginan, lemas, cemas, dan hilang arah seperti saat ini.

Kami putuskan untuk kembali ke atas, menelusuri jalan ke arah belakang. Shit, that happen! Sama sekali kami kehilangan arah. Tiba-tiba kami tak tahu tadi kami berjalan ke arah mana? semua arah tampak sama, tak ada satu pun tanda jalur pendakian yang bisa di lalui, semua arah tertutup oleh pohon-pohon mati!

Saya arahkan cahaya ke seluruh arah, ke atas batang dan ranting pohon. Kami pun menangkap satu buah marka berwarna ungu. Namun kami tak tahu marka tersebut mengarah ke atas atau ke bawah, ke arah kanan atau kiri?

Kami berjalan menuju marka tersebut, cahaya kembali di arahkan ke sekeliling untuk mencari marka ke dua. Kami pun mendapatkan marka ke dua, marka berwarna merah menuju ke arah kanan.

Kami langsung berjalan menuju marka berwarna merah tersebut, sial, kami tak kunjung menemukan marka ke tiga. Lemas rasanya. Saya berulang kali berteriak berharap seseorang mendengar kemudian memberikan tanda pada kami. Tapi percuma. Fatkhan yang sudah sangat lelah berulang kali duduk bahkan menenggelamkan wajahnya berulang kali di batang pohon, dan sempat tertinggal langkah beberapa kali. Sedang kami sudah sama-sama tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Yang saya takutkan saat ini adalah munculnya rasa menyerah, frustasi, dan pasrah.

Hujan kemudian turun beserta angin dengan cukup lebat, kami harus terus berjalan, bergerak, jika tidak maka dapat dipastikan suhu badan akan sangat drop. Entahlah kami berjalan ke arah mana, yang jelas kami mengikuti arah dari marka kedua, lurus.

Petunjuk kami dapatkan kembali, dari kejauhan kami melihat beberapa cahaya tenda. Saya arahkan cahaya ke sana, dan cahaya tenda merespon. Kami coba berteriak ke tenda itu tapi tak kunjung mendapatkan balasan. Suara kami sepertinya tidak terdengar, pertanda tenda tsb berada sangat jauh.

Terus berjalan, kami menemukan satu buah tenda berwarna orange di tengah hutan mati. Syukurlah, rasanya bahagia sekali menemukan tenda ini. Seperti baru saja mendapatkan pacar baru, saya berlari menuju tenda tersebut, diikuti oleh Teja, Fatkhan dan Bella.

Menyapa si yang empunya tenda untuk bertanya jalan dari luar, keluarlah satu orang bapak-bapak berbadan agak gelap, tinggi berisi, yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus merah bertuliskan "PAPUA" yang nampaknya sedang berbulan madu dengan isterinya. Beliau menunjukkan jalan menuju Pondok Saladah.

“Dari sini kalo langsung lurus susah, mending ke arah sana dulu, terus belok kanan, muter, nanti ada jalur turun, ikutin itu,” kata bapak itu sambil menggerakkan tangannya menunjukan jalan.

Bapak ini pun memberitahu jika tadi ada dua orang yang menanyakan arah yang sama dengan kami. Dua orang? pasti itu dua bapak yang bertemu dengan kami saat perjalanan ke puncak. Ya, mereka juga sama tersesat.

Saya sedikit tidak ngeh dengan ‘arah sana, terus belok kanan’, saya pun menanyakan patokan untuk belok ke kanannya, apa ada marka atau tanda apapun? Ternyata sama sekali tidak ada patokan untuk belok ke sana. Bisa-bisa kami tersesat lagi.

Tidak enak berulang kali bertanya, dan mengganggu bapak ini, kami putuskan untuk berjalan kembali, setelah sebelumnya meminta sedikit roti dan air minum untuk sekedar sedikit mengisi perut kami yang sudah kosong.

Kami ikuti arah yang ditunjukan bapak tadi, lurus, kemudian belok kanan berdasakan feeling, ya, karena tidak ada marka atau patokan apapun, saat ini kami berjalan berdasakan insting.

Untuk ke sekian kalinya kami dihadapkan dengan jalan curam menuju jurang. Saya melihat rasa frustasi dan kelelahan yang luar biasa pada wajah teman-teman. Penyesalan saya yang mengusulkan menuju puncak lagi-lagi berputar terus di kepala saya. Jika pahitnya terjadi sesuatu yang buruk pada saya dan teman-teman, saya akan menjadi satu orang yang paling menyesal pastinya. Itu pun yang terus membuat saya terus mempercepat langkah kaki saya, mengarahkan cahaya ke segala penjuru hutan untuk mendapatkan ‘sesuatu’. Berlari kembali jika melihat cahaya ke sana dan kemari, ya, terus berusaha untuk dapat melenyapkan rasa penyesalan saya.

****

Naik ke atas lagi, menjauhi jurang, kami berjalan balik, saya berniat untuk mengarahkan perjalanan ini ke tenda orange tempat kami bertanya pada bapak-bapak tadi. Tapi entah kaki saya mengarah kemana, saya rasa saya berjalan ke arah tenda orange, tapi kenyataannya malah berjalan ke arah lain.

Dari kejauhan Bella melihat satu lampu, seperti senter yang bergerak. Kami sempat bahagia melihatnya, berharap itu adalah Bang Toat atau Agus yang meminta bantuan pada tim rescue untuk menemukan kami. Melihat teman-teman yang sudah lemas, saya sedikit berlari mendekati cahaya itu menyorot cahaya itu dengan headlamp, tapi tidak mendapatkan balasan. Saat saya perhatikan lagi, ternyata itu bukan cahaya senter yang bergerak. Cahaya itu berada di atas bukit yang letaknya berseberangan, terpisah dengan tanah yang sedang kami injak saat ini. Tapi berkat cahaya itu, dari kejauhan juga saya menemukan tenda kembali, kali ini tenda berwarna merah yang cukup besar. Awalnya saya sangat berharap dapat bergabung untuk bermalam di tenda, mengingat kondisi kami yang sudah sangat lelah dan hujan angin yang tak kunjung berhenti, saat itu sudah jam 21.15.

Saya berlari terlebih dahulu menuju tenda, Teja, Bella dan Fatkhan menyusul di belakang. Bertanya jalan menuju Pondok Saladah pada si mas-mas yang empunya tenda, yang mungkin berusia tak jauh dari usia kami. Jawabannya sama dengan si bapak tenda orange awal. Lah, sedari tadi kami berjalan kemana?

“Tadi juga kita sempat nanya ke tenda yang lain, katanya jalannya juga ke sana sama dengan yang mas bilang. Tapi kita mentok di jurang lagi,” kata saya.

“Iya jalan lagi aja, nanti setelah jurang, ada jalan yang agak landai. Nah baru bisa nyeberang terus turun. Ikutin jalan, nanti banyak tenda. Itu artinya udah menuju ke Pondok Saladah,” jelas si Mas itu lagi.

Pamit, kami berjalan lagi. Setidaknya kata kunci yang saya dapatkan adalah ‘jalan landai’ yang kemudian bisa diseberangi. Jika mengikuti arah yang ditunjukan oleh si mas tadi, hasilnya bakalan sama, akan berputar-putar lagi. Akhirnya kami putuskan untuk berjalan menyusuri samping jurang, hingga menemukan jalan landai.

****

Ingat jembatan kecil yang terbuat dari batang pohon yang menyambungkan hutan kecil dan hutan mati yang pernah saya sebutkan di PART1? Akhirnya kami menemukannya.

“INGET INI GAK, BEL??” teriak senang saya pada Bella.

Bella melihat ke arah saya, dapat jelas saya lihat raut mukanya yang muram tiba-tiba berubah bercahaya, saya temukan sebuah harapan di sana.

“GUE INGET! Tadi siang kita lewat sini kan?” Bella mengiyakan.

“BENERAN INGET JALAN INI KAN LU, BEL??” saya mengulangi pertanyaan saya. Saking senangnya, saya bertanya dengan suara yang keras.

“GUE MASIH INGET BANGEETT.. AYUK LANJUT!” Bella semangat langsung berjalan di barisan paling depan.

Seperti siang tadi, Bella berjalan di depan, saya berjalan di belakang Bella untuk memberikan cahaya, kemudian disusul oleh Teja, dan Fatkhan.

Alhamdulillah, jalan semakin turun, dengan belokan trek yang sangat jelas. Saya masih ingat jalan ini. Tenda mulai terlihat di samping kiri hutan kecil, tanah yang kami pijak, tanah berwarna putih yang sudah sangat becek dan dapat terlihat dengan jelas bekas-bekas sol sepatu disana.

Setelah saya melihat rawa. Saya berani memastikan, kami sudah tidak tersesat lagi!

Tak pernah saya duga, melihat rawa, berjalan kotor-kotoran, bahkan terjelembab di rawa rasanya akan begitu bahagia seperti saat ini. Berbeda dengan siang tadi, saat berjalan dengan sangat hati-hati saat melewati rawa agar tidak terperosok.

****

Selesai membersihkan kaki, tangan, dan wajah, kami berjalan ke Pondok Saladah melewati puluhan bahkan lebih tenda yang berjejer tak tentu arah, untuk dapat menuju tenda kami yang memang posisinya agak menjorok ke dalam pohon-pohonan.

Sialnya, malam yang sudah gelap, dan kondisi tempat tenda yang sudah berbeda, sudah ada beberapa tenda baru yang nampaknya baru datang sore tadi, membuat kami kesulitan untuk menemukan tenda. Astagaa.. ini akan jauh lebih sulit, karena akan sangat konyol jika kami bertanya kepada orang-orang di sana untuk mengetahui letak tenda kami ada dimana?

Kami berjalan kesana-kemari sambil berdebat arah tenda yang benar ke arah mana?
Lagi-lagi saya berani mengatakan ini adalah mukjizat dari Tuhan, suara Bella yang memang agak keras terdengar oleh Agus dari dalam tenda. Agus langsung keluar tenda dan berteriak memanggil kami yang sedang kebingungan mencari letak tenda.

Alhamdulillah.. saya tidak bisa menggambarkan betapa bahagianya melihat kembali Agus, Bang Toat dan yang paling penting, tenda yang sudah kering‼

Bang Toat tampak sangat khawatir, dia langsung mendekati kami, menyalami dan memeluk kami satu persatu. Wajar, Bang Toat adalah personel yang paling senior di sini, jika ada apa-apa yang terjadi pada kami, dia juga yang akan paling bertanggung jawab. Bahkan ternyata Bang Toat terus bulak-balik tenda karena khawatir menunggu kami yang tak kunjung datang.

Bang Toat langsung menyuruh kami untuk mengganti baju. Sementara kami mengganti baju, Bang Toat dan Agus langsung memasak air, membuatkan makanan dan minuman untuk menghangatkan badan kami.

****

Pukul 23.10 kami dapat berkumpul kembali dengan personel komplit di tenda, tertawa kembali, menceritakan pada Bang Toat dan Agus tentang perjalanan kami yang sudah hampir membuat kami menginap di hutan mati di tengah hujan dan angin. Bang Toat dan Agus menyanggah cerita kami.

“Disini gak hujan. Hujan ya itu tadi pas siang, begitu kalian pergi sampe sore-lah udah gak hujan lagi. Liat aja tenda udah kering lagi. Gua keringin tadi,” kata Bang Toat.

Ya, wajar sih, saya memang sering mendengar jika di atas gunung hujan kadang turun tidak merata. Yang penting saat ini kami sudah berkumpul lagi, dan bahagia sekali saat melihat Fatkhan yang mulai berjoget-joget konyol lagi, bercanda, dan tertawa lagi, sangat berbeda dengan kondisi saat di hutan mati tadi. Kalau kata Agus sih, itu karena faktor energen. Hahaha..

Selesai makan, kami bergegas untuk beristirahat karena badan sudah sangat lelah. Sleeping bag saya ternyata sudah kering, hanya bagian bawah yang masih basah. Tak apalah yang penting merem dengan lega dan bahagia.

****

06.10 Sarapan..
Bang Toat dan Agus bercerita, semalam tidak bisa tidur. Teja mengalami kedinginan yang luar biasa. Seluruh badannya menggigil, hingga harus diapit oleh Bang Toat dan Agus agar sedikit hangat. Cuma Fatkhan yang bisa tidur pules.

Pukul 07.30 beres-beres, kemudian berdoa bersama sebelum turun ke tempat parkiran.
Kami mendapat kabar jika Pak Iwan tidak dapat menjemput kami karena sedang berada di Jakarta, paling jika mau menunggu, beliau baru bisa menjemput siang, itupun tanpa kepastian. Jika menunggu bisa-bisa kami bermalam kembali di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk ngeteng.

kelakuan Bang Toat dan Agus :D

Ini mereka yang anteng mantengin Bang Toat dan Agus

ini ceritanya pose... ah sudahlah..

Pukul 11.30 dari parkiran, kami ngeteng dari kawasan tempat parkir Papandayan, kami turun ke jalan raya menggunakan mobil kap terbuka, perorang dikenakan ongkos Rp. 20.000,-. Memakan waktu sekitar setengah jam untuk kami sampai di jalan raya.

Di sini saya berpisah dengan teman-teman LARON UNSIKA setelah kebetulan mendapatkan elp yang langsung menuju ke Bandung, dengan ongkos Rp. 35.000,-. Sementara teman-teman LARON melanjutkan perjalanan pulang dengan menaiki angkot ke arah terminal, kemudian dilanjutkan dengan menaiki bis ke arah Karawang.

Dengan sampainya saya di Bandung tepat saat adzan Ashar, nampaknya perjalanan menuju puncak Papandayan pun resmi berakhir. Bersyukur, saya masih diberikan kesempatan untuk belajar dan terus belajar atas semua kejadian yang terjadi selama mencari puncak Papandayan. Terus terang, ini adalah perjalanan yang paling berkesan.

Beberapa hari setelah kepulangan saya dan teman-teman LARON dari puncak Papandayan, saya mendapatkan info tentang hilangnya survivor di gunung Sindoro sedari hari Kamis, 2 April 2015, dan baru berhasil ditemukan pada tanggal 15 April 2015 dalam keadaan sudah tidak bernyawa.

Entah benar atau tidak, pantas dipercaya atau tidak, ada satu obrolan antara orang yang dapat berinteraksi dengan makhluk yang menyembunyikan survivor tsb. Pepatah, “Ambil kata-kata yang baik sebagai pelajaran, jangan lihat siapa yang berbicara,” nampaknya memang benar.

‘Dahulu gunung dijadikan sebagai tempat sunyi, tempat untuk orang yang mendakinya untuk mencari ketenangan, mendekatkan diri pada penciptanya. Namun, saat ini gunung telah menjadi tempat bersenang-senang, menjadi tempat ajang menyombongkan diri dengan sifat manusia yang selalu merasa ‘besar dan bisa’. Manusia yang salah kaprah dengan melakukan pendakian untuk bisa mengalahkan alam, menjinakkan alam. Padahal, pendakian sesungguhnya adalah ajang untuk mengalahkan diri sendiri, mengalahkan keegoan diri dari rasa tinggi hati. Memang manusia menyadari dan mengagumi karya Tuhan saat berada di puncak, keimanan mereka menguat, namun semuanya kembali menurun seiring mereka berjalan menuruni puncak, dan hilang kembali saat berada di bumi.”

Saya tertampar, ya, saya manusia yang rasanya memiliki rasa itu juga.
Saya dan teman-teman yang merasa sudah terlalu meremehkan puncak gunung Papandayan yang bisa dibilang tidak terlalu tinggi, bahkan masih berada dalam batasan gunung dengan puncak yang rendah. Sehingga saat berangkat ke puncak, kami tidak membawa perbekalan makanan, semua kami tinggalkan di tenda. Padahal jelas tidak tahu berapa jauh perjalanan menuju puncak, hanya berbekal info dari pendaki lain yang mengatakan bahwa menuju puncak hanya tinggal menempuh sedikit perjalanan lagi. Kami tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak, dan yang terpenting, kami bukan Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selama di perjalanan ke puncak.

Apalagi setelah mengetahui lokasi ditemukannya survivor di gunung Sindoro yang sangat berjauhan dari trek pendakian..
image source : twitter.com
Lokasi yang berwarna kuning adalah lokasi ditemukannya survivor pada 15 April 2015.

Apa yang kami lakukan saat itu, rasanya hampir sama seperti apa yang dilakukan oleh survivor di gunung Sindoro, tidak membawa perbekalan yang cukup, dan terlalu mengganggap enteng perjalanan terlihat dari alm yang hanya menggunakan kaus, tidak membawa jaket. Yang membedakan hanya, mungkin kami masih bernasib jauh lebih baik, dan sedang diberikan pelajaran oleh Tuhan untuk tetap membumi dan selalu mengingat-Nya.

Terimakasih sekali lagi saya ucapkan pada tim Gunung Papandayan, Bang Toat, Bella, Fatkhan, Agus, dan Teja yang sudah mengajak saya untuk ikut bergabung. Semoga tidak kapok mengajak saya.. hahaha.. Thanks bro!

Terakhir, saya ingin mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Ahmad Zaenuri, survivor yang hilang di Gunung Sindoro, semoga amal ibadah alm diterima oleh Allah SWT, dibukakan pintu Surga selebar-lebarnya, dan semoga diberikan terus ketabahan kepada sanak, keluarga, dan sahabat yang ditinggalkannya. Aamiin.

Kejadian yang dialami Alm menjadi perhatian besar bagi teman-teman pendaki se-Indonesia, dan telah menjadi pelajaran yang sangat berarti. Ya, semuanya setelah terjadi, hanya penyesalan yang tersisa, maka sebelum penyesalan itu datang, lebih baik kita kurangi kemungkinan kedatangan penyesalan tersebut dengan lebih bijaksana dalam pengambilan keputusan. RIP.

≫≫> Selesai.



Baca Juga yang Ini

1 komentar

  1. wow sharingnya keren banget. gunung papandayan bagus juga tuh kelihatannya.. ooo iyaa kalau ingin tahu cara membuat web gratis yukk disini aja..

    ReplyDelete