Aku Pulang Padamu

pict source: www.videezy.com Sudah hampir jam sebelas malam, namun tidak juga terlihat tanda-tanda kau akan datang. Selama ini A...


pict source: www.videezy.com
Sudah hampir jam sebelas malam, namun tidak juga terlihat tanda-tanda kau akan datang. Selama ini Aku memang terlalu percaya diri, dan tak tahu diri. Seharusnya Aku lebih mengerti tentang hati, dan apa yang ada di dalam hatimu yang telah lama Aku abaikan.
Aku melepaskan jaket dan membiarkannya menggantung di pundakku. Sama dengan lima tahun lalu, saat Aku berjalan di tempat ini dengan jaket yang menggantung di bahuku, dan engkau yang menggamit tangan kiriku sepanjang jalan, seakan takut jika Aku pergi dan tak pernah kembali. Namun kali ini, tak ada engkau yang menggamit tanganku, hanya ada angin-angin yang menjadikan tubuhku sebagai santapan makan malamnya.
Aku telah meninggalkan Bandung selama lima tahun. Meninggalkan kota ini bukanlah suatu hal yang sulit jika saja engkau bukan penghuninya. Dan saat ini aku kembali untuk alasan pekerjaan, walau sebenarnya masih ada alasan tak masuk akal lainnya yang membuatku dapat menandatangani surat perpindahan tugas ke kota ini, hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Engkau.
Aku masih ingat hari terakhir sebelum aku pergi. Jaket yang sekarang sedang memeluk pundakku adalah jaket pemberianmu. Jaket berwarna abu dengan aksen hitam, jaket yang sengaja kau pilih karena warnanya adalah warna favoritku.
“Aku beli ini buat kamu pake selama di sana,” katamu dulu sambil memberikan bungkusan berisi jaket yang terus aku pakai hingga sekarang, setiap kali Aku merindukanmu.
 “Di sana kan panas masa ngasih Aku jaket?”
 “Ya, justru karena di sana panas, jadi kamu harus pake jaket. Kalo gak, nanti kamu jadi hitam, pas balik lagi ke Bandung aku udah gak ngenalin kamu, gimana coba?”
Aku tersenyum sendiri mengingat hari itu. Aku menerima jaket pemberianmu beserta senyuman manis tertulus yang tergambar jelas di wajahmu. Masih juga teringat saat aku memakai jaket pemberianmu, dan ternyata ukurannya terlalu besar untuk badan kurusku. Apa kau masih ingat apa yang kau katakan saat itu? Aku masih mengingatnya sampai sekarang.
“Sengaja Aku beli yang ukurannya lebih besar, biar bisa muat dipakai bertahun-tahun sampai kamu gendut nanti. Jadi, kamu bakalan terus inget aku dalam waktu yang lama, dalam jarak yang jauh. Kalau nanti tiba-tiba kamu pengen banget pake jaket itu sebulan penuh gak ganti, mungkin saat itu Aku lagi rindu banget sama kamu satu bulan penuh gak bisa berhenti mikirin kamu.”
Aku kehilangan kamus bahasa di otakku, aku terdiam tak dapat mengatakan apapun. Pipi bulatmu memerah, matamu yang berkilau, seperti hendak menangis namun tak juga kau biarkan air mata keluar, malah garis senyuman yang semakin kau tarik lebar. Tak kusadari mataku terasa panas, ada sesuatu yang mengalir hangat di pipiku. Aku segera menarikmu dalam dadaku, dan kita pun tenggelam dalam satu pelukan yang menyesakkan, dengan napasmu yang hangat berburu di leherku membuat malam itu semakin hening. Aku tak ingin kau melihat air mataku yang berjatuhan tak terkendali. Aku pun tak ingin kau tahu tentang kepalaku yang tengah sibuk memikirkan apa saja yang akan aku lakukan saat jauh, apa yang akan terjadi bila kita berjauhan, dan apa benar kelak akan tiba saatnya Aku pulang padamu atau malah pulang saat kehilanganmu?
Hari-hari berikutnya,  kita berubah menjadi sepasang cinta spesial yang berbagi rindu dalam jaringan telepon, dan kelangsungan romantisan kita yang sangat bergantung pada kesehatan bapak tukang pos.
Jarak yang berjauhan menjadikanmu sebagai seorang wanita yang tak percaya diri. Kau terlalu merendahkan dirimu dengan terlalu cemburu pada setiap wanita yang menyapaku di jejaring sosial. Kau terlalu membuang waktumu untuk pertanyaan tak penting dan sudah seharusnya kau tahu jawabannya.
“Kamu. Gak pernah ada yang lain, cuma kamu. Jarak ini harusnya jadi suatu hal yang mendewasakan kita dengan saling percaya,” kataku yang kau sambut dengan tangisan di ujung sana. Aku ingin memelukmu saat itu, tapi tanganku tak pernah sampai.
Hari, minggu, bulan, tahun berikutnya, Aku semakin merasa bersalah dengan membiarkan kau selalu menangis setiap malam, tidak, mungkin saja sepanjang hari, aku tak tahu dan kau tak mengaku.
Apa Aku masih pantas disebut lelaki? Jika pasangannya yang jauh disana menangis dan aku tak berdaya disini sendiri, hanya mendengarkannya dari kejauhan. Aku tak bisa memberi perhatian seperti yang wanita pada umumnya inginkan. Aku pecundang!
Kemudian semuanya berakhir.
Kukira semua akan membaik setelah itu, ternyata tidak. Semua menjadi jauh lebih buruk. Aku kira dengan merelakan kau untuk mencari lelaki lain yang dapat memberikan perhatian, dan cinta yang lebih besar padamu, hingga kau menemukan kebahagian yang sebenarnya akan dapat membuatku bahagia juga. Ternyata Aku salah.
Tiga tahun lebih Aku tak mendengar kabar apapun tentangmu. Kau mendadak berubah menjadi buronan paling dicari nomor pertama di hidupku. Nomor handphone-mu sudah tak lagi dikenali oleh handphone-ku, alamat rumahmu sudah tak lagi dikenali oleh bapak pos langganan kita. Semua surat yang ku kirim kembali lagi padaku, tanpa tersampaikan, tanpa sempat mendapati hembusan napasmu dan senyumanmu saat membacanya, seperti dahulu.
Hingga Aku mendapati kabar kau tengah menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang sempurna karena keberuntungannya. Dia beruntung mendapatkanmu. Dia yang hendak akan melamarmu namun tak juga mendapatkan jari manismu. Kemudian pergi meninggalkanmu. Mungkin dia tidak beruntung.
Entah Tuhan telah merencanakan apa saat Aku diberi kesempatan untuk menjejakkan kaki kembali di Bandung. Aku pantas bahagia. Kemudian Aku dipertemukan dengan seorang teman yang dapat mempertemukan kau dan Aku, namun kemudian ternyata kau tak datang. Ya, Aku memang layak untuk dikecewakan.
Ingatanku berpendar seketika saat temanmu menelponku, hembusan napasnya tergesa.
“Ke rumah sakit sekarang!” katanya. Kata-kata berikutnya berburu dengan napasku yang berlarian mencari taksi untuk mengantarku kesana. Rumah sakit.
Ini sungguh bukan kisah yang romantis. Kita tak bertemu hampir lima tahun, dan kini kau menyambut kedatanganku dengan tertidur disana. Entah kau dengar atau tidak?
“Aku ingin menikahimu. Sungguh ingin. Lima tahun ini Aku banyak belajar. Aku mengerti jika jarak bukanlah suatu alasan untuk tidak mencintaimu, jarak bukanlah alasan untuk tidak membina hubungan yang serius denganmu, dan jarak juga bukan alasan yang tepat untuk meninggalkanmu. Aku tak mau lagi dikalahkan oleh jarak. Aku ingin menikahimu untuk mengalahkan jarak. Aku tahu Aku egois, pergi selama ini dan mengecewakanmu berulang kali. Dan sekarang Aku datang begitu saja, mengucapkan ini seenaknya saja, tanpa memikirkan perasaanmu, rasa sakitmu selama ini. Aku hanya ingin kamu tahu, sungguh Aku cinta kamu. Aku menyesal atas semua yang pernah terjadi,” Aku menggenggam tanganmu erat.
Matamu masih terpejam, kau masih bernapas dengan bantuan selang, dengan balutan perban yang menutupi kepalamu dan tampak noda merah disana. Tanpa kusadari mataku terasa panas kembali, dan Aku tak sanggup menahan air hangat yang membasahi pipiku, Aku menenggelamkan wajahku di tanganmu.
 “Kenapa?”
Aku mengangkat kepalaku. Tanganmu bergerak lemah menggenggam tanganku. Dengan susah payah kau membuka mata.
“Kenapa Kamu mau nikah sama Aku?” suaramu pelan.
“Karena menikahimu adalah pilihanku,” jawabku singkat. Aku berusaha agar tidak ada air di mataku yang menetes kembali, “Kamu satu-satunya wanita menyebalkan yang gak pernah bisa aku benci. Kamu satu-satunya wanita yang ngasih aku jaket kegedean cuman biar awet dan biar aku mau ngegedein badanku. Kamu wanita paling posesif yang ngebuat Aku sadar, kalau memang cinta itu harus dijaga, cinta harus saling percaya, dan cinta memang harus selalu diperjuangkan. Kamu wanita yang bisa ngebuat aku nangis hingga ketawa kapanpun, tanpa butuh alasan apapun. Kamu wanita yang mampu bertahan, selama lima tahun ini menunggu aku datang, dan selalu yakin aku akan datang untuk memasangkan cincin di jari manismu walau penuh dengan ketidakpastian.”
“Pede’,” katamu pelan.
Aku dapat melihat mata tulusmu yang sangat aku rindukan. Aku rasakan lagi hangat manis senyummu, dan genggaman tangan halusmu yang menjadi paduan resep yang tepat untuk terus mencintaimu.
Aku tersenyum, “Aku masih simpan jaket ini selama lima tahun. Bahkan aku selalu pakai jaket ini tiga tahun terakhir saat kamu gak ada kabar. Aku sadar satu hal, Kamu masih menunggu aku kembali dengan rindumu yang tak pernah berhenti selama tiga tahun itu. Aku pun sama.”
Aku mengambil cincin di kantong celanaku. Perlahan Aku memasangkannya pada jari manismu. Sungguh, kau tampak manis dengan perban putih bernoda darah, akibat terlalu ceroboh menyeberang jalan dan menjadi korban dari sopir mobil pengecut yang tak bertanggung jawab, saat hendak menemuiku, beberapa jam lalu.
“Dengan sungguh. Deandra Artika Noviandra, jadilah pendamping hidupku. Menikahlah dengan ku.”
Kau mengangguk dan tersenyum. Sedetik kemudian, Aku menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang mengghinggapi kepalaku. Ternyata Aku mampu kembali pulang. Akhirnya Aku pulang padamu.


Nb : Cerita Pendek ini adalah cerita pendek yang ditulis oleh Cahyo Prasetiyo, terdapat dalam antologi buku #MenikahimuItuPilihanku yang diterbitkan di nulisbuku.com tahun 2014.

Baca Juga yang Ini

0 komentar