Rayla Nayla

(Sumber :  wallup.net : "Women Pacific Ocean Sunset Silhouette" ) “Maaf, aku gak bisa,” satu jawaban yang tidak pernah a...


(Sumber : wallup.net : "Women Pacific Ocean Sunset Silhouette" )

“Maaf, aku gak bisa,” satu jawaban yang tidak pernah aku harapkan untuk terucap dari mulutnya.
Aku tak beranjak dari tempat dudukku. Memandangi kosong matanya yang tersita oleh cup berisi hot chocolate yang sudah dingin, tepat di hadapannya. Meja yang aku dan Nay tempati masih diisi dengan sunyi. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku, pun dengan Nay. Aku sibuk memikirkan apa yang sedang berputar-putar di dalam kepala Nay, seiring tangannya yang tengah sibuk memutar cup di hadapannya, berulang. Mungkin Nay sedang menunggu hot chocolate dinginnya berubah menjadi panas kembali? Jelas itu tak mungkin, Nay, sadarlah.
“Nay,” aku coba memanggilnya. Aku tahu panggilanku akan sia-sia. Nay saat ini memang tepat berada di hadapanku, tapi selama tiga jam ini aku merasa sedang makan malam bersama patung yang bernafas, “Kenapa, Nay?” tanyaku lagi.
Aku dapat mendengarkan tarikan nafasnya yang dalam, sebelum Nay bergerak untuk membenarkan posisi duduknya. Kini, matanya tampak ragu untuk menatap mataku. Mulutnya nampak berat untuk mengucap, “Kris, kamu harus bisa membenci aku,” katanya pelan.
“Maksudnya?” tanyaku.
Nay terdiam kembali. Café semakin sepi. Aku dan Nay adalah pelanggan terakhir yang berada di lantai dua. Memang sudah biasa bagi kami untuk pulang beberapa menit saja sebelum café tutup, atau tetap bertahan sebelum ada waitress datang menghampiri kami dan memberi tahu jika café akan tutup. Biasanya, aku menghabiskan waktu dengan membuat Nay yang pendiam ini tertawa, tapi beberapa hari belakangan ini, aku merasa waktu kami telah terbuang sia-sia. Aku yang hanya menghabiskan waktu dengan melihat Nay melamun sambil memutar cup, begitu saja. 
Aku menarik kursiku lebih ke dalam, kemudian menundukkan punggungku, untuk melihat wajah Nay yang masih menunduk, lebih dekat. 
“Aku hanya mencoba untuk jujur sama perasaanku selama ini, Nay.”
“Gak, kamu gak boleh, Kris,” Nay akhirnya bicara, suaranya berat, “Aku bukan wanita yang baik buat kamu,”
“Tapi kamu yang terbaik bagi aku, Nay,”
Nay menghela nafas, panjang. Tangannya yang sedari tadi memutar cup, dia biarkan jatuh di atas meja, “Kris, Kamu akan kecewa setelah tahu semuanya-” Nay menatap mataku, matanya sembab.
“Nay..” Aku memotong pembicaraan Nay, namun tak sempat mengucapkan apapun, Nay sudah memotong kembali.
“Kris, aku udah gak suci lagi,” 
Aku dan Nay terdiam. Aku memberikan waktu pada kepalaku beberapa saat untuk mencerna perkataan Nay. Aku tak mampu mengatakan apapun. Ucapan Nay bagai pisau yang berhasil memotong kepalaku, kemudian mencabik-cabik isinya dan membuang seluruh bagian dari otakku, hingga tak tersisa apapun disana. Aku tak dapat memikirkan apapun. Aku bagaikan idiot yang tak mengerti apa yang dikatakannya, hingga ingin kembali menanyakan, “Gak suci lagi?” namun lidahku tercekat.
Nay menatapku lebih dalam, matanya sembab, sebelum pipinya berubah menjadi kemerahan, dan basah oleh air yang keluar semakin deras di antara sudut matanya.
“Sudah dua bulan aku gak menstruasi, aku takut, Kris.” Tetes-tetes air tak terbendung lagi di matanya. Mengalir semakin deras hingga tak tertahan jatuh di tangannya, “Aku begok, Kris! Aku rendah! Aku-”
Aku segera beranjak dari tempat dudukku, cepat aku berdiri di samping Nay, dan memeluknya. Nay menangis, semakin menjadi. Suaranya tertahan di dadaku. Sementara Aku masih tak mengerti.
****
Senja, tak ingat kapan pertama kalimya aku duduk di atap suatu bangunan kosong yang berada di samping landasan pesawat setiap sore. Mengagumi sang jingga yang bersembunyi di balik awan, namun tetap sinarnya mampu lolos melalui celah-celah awan, dan menjamahi setiap jengkal langit sore. Senja mungkin tak pernah sadar, jika mudah baginya untuk dapat membuat manusia terkagum-kagum. Ya, senja seperti wanita yang saat ini ada di sampingku. Biasanya, dia akan tersenyum sendiri sambil merapikan rambut panjangnya yang sempat berterbangan ditiup angin dari pesawat yang mendarat, namun setelah semua kejadian ini, dia berbeda. Senja tak lagi mampu mengundang senyuman hadir di wajahnya.

 Wanita ini adalah alasan mengapa aku menyukai senja yang damai. Senja yang tenang. Wanita ini seperti jelmaan senja dalam bentuk manusia yang berhasil membuatku betah berlama-lama menemaninya. Betah berlama-lama memandangi senyumnya, bahkan pipinya yang memerah kala terkena sinar jingga. Dia yang selalu membuatku salah tingkah saat melihat ke arahku, dan mengetahui jika aku sedari tadi sedang memandang wajahnya, bukan matahari senja. Tentu, wajahnya lebih menarik dan indah.
Biasanya Aku, Nay, dan Rein, satu orang sahabat pria yang lama menghilang saat perut Nay semakin membesar, kita akan terdiam memandangi matahari tenggelam. Mungkin aku sudah sakit, aku masih memanggil Rein sahabat? Entahlah, mungkin seharusnya aku memanggil dia bajingan?
Aku sudah mencari Rein kemanapun tapi tak juga mendapati sosoknya, sudah ku hubungi semua kontaknya, hampir seluruh temannya, tapi tak juga mendapatkan hadirnya. Aku seperti orang gila yang berlari-larian kesana-kemari, tak lelah, hanya untuk mencari Rein. Aku mungkin sudah gila, untuk mencari Rein, bahkan aku sampai mengambil cuti dari pekerjaanku untuk sekedar menuntut tanggung jawab Rein pada wanita yang sebenarnya sangat anggun, pendiam, santun, lembut, dan aku masih tak percaya dia telah berani melakukan hal itu dengan Rein. Rein, sahabatku dan sahabat Nay. Rein, yang bahkan aku tak tahu jika dia mencintai Nay, dan Nay yang akupun tak tahu jika dia mencintai Rein diam-diam. Dan aku, yang baru menyadari, jika aku ternyata telah mencintai Nay.
****
Bagus Rein, berkatmu, pukulan dari ayah Nay mendarat telak di wajahku, berulang kali. Mungkin aku sudah mati jika tak ada Ibu Nay yang menahan beliau. Aku berjanji akan membunuhmu kelak, jika membuat Nay menangis kembali, Rein. Itu pun jika kamu memang pria yang akan segera datang pada Nay untuk bertanggung jawab.
Aku sudah menemani Nay untuk menceritakan kepada ayah dan ibunya tentang semua yang sudah terjadi pada Nay. Ayahnya mengira aku yang sudah berhubungan dengan Nay. Kamu tahu kan, Rein? Keluarga Nay adalah keluarga baik-baik, tanpa cela, dengan paham agamis yang lekat. Ayah Nay adalah seorang pria pemimpin warga yang bijak, tak pernah terpancing emosinya. Kamu pernah bilang kan Rein, jika hal yang paling menakutkan di dunia ini adalah saat seorang yang bijak dan tak pernah marah, tiba-tiba meluap emosinya dan tak tertahankan. Ya, akhirnya aku percaya itu.
 Aku masih tak paham kenapa kamu berani melakukan itu dengan, Nay? Dan tentang Nay, apa cinta Nay padamu sebesar itu, hingga rela kau buahi? 
****
Rein, sekarang sudah memasuki bulan ke delapan. Nay sudah mulai kesulitan untuk berjalan. Jangan ditanya lagi, berapa banyak orang yang membicarakan Nay dan aku dari balik punggung kami. Terimakasih banyak atas buah yang kamu berikan ini, Rein. Terimakasih mungkin berkatmu, Aku menjadi sangat mencintai Nay, aku sudah membulatkan tekadku untuk menikahinya kelak saat anaknya telah lahir. Aku akan dipanggil ayah oleh anakmu. Aku akan selalu menjaga Nay, aku yang akan mengurus anaknya hingga besar kelak, memberinya pelajaran agar tidak menjadi seorang bajingan  sepertimu. Walaupun aku tahu, mungkin Nay jauh lebih mencintamu, dan kehadiranku tak cukup mampu menggantikan posisimu di hatinya, tapi setidaknya, aku bukanlah pria pengecut sepertimu. Aku tidak akan rela jika seorang yang aku cintai dipimpin oleh kepala keluarga yang sangat pengecut. Oh ya, selamat Rein. Aku sudah sangat membencimu melebihi apapun. Niat untuk membunuhmu semakin bulat dari hari ke hari.
****
Reyla Naila, nama yang diberikan Nay untuk bayi lucunya, perempuan. Anak Nay, dan anakmu, Rein. Nama yang dipilih oleh Nay diambil dari namamu. Sudah kuduga, Nay masih sangat mencintaimu.
Beberapa hari setelah kelahiran Naila, Rein, kamu datang dengan wajah tanpa beban, dengan sapaan layaknya sahabat yang sudah lama tak bersua. Ingat, kamu sudah tak layak disebut sahabat.
“Apa kabar?” satu sapaan darimu yang diiringi ayunan tangan untuk bersalaman dengan ku. Aku tak menyambut salam dari mu, setelah tak kudapati sedikitpun rasa penyesalan di wajahmu.
Maaf kata sandi yang kamu katakan salah, Rein.
“BANGSAAAATTTTT!!!” satu pukulan tepat mendarat di hidung Rein. Aku tak bisa menahan lagi. Ini saat yang paling aku tunggu dari dulu. 
Rein tersungkur di sudut teras rumah Nay. Dia memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah. Begitu merah dan cair. Cairan merah itu sangat mengingatkanku pada hari kelahiran Reyla Naila.
“BANGUN LU!!!” aku menarik kerah kemeja putih Rein yang tampak indah dengan noda merah bekas darah di bagian depannya. “KEMANA AJA LU HAHH??!!” satu lagi pukulan tak dapat aku tahan, tepat di sudut kiri mulutnya. Ku ulangi lagi, dan lagi, Rein tak melawan. Posisi jatuh Rein semakin tersudut.
Nay dan ayahnya hanya menonton kami. Seakan ingin mengatakan, “Silahkan bunuh saja,” atau ingin mengatakan, “Titip sembilan pukulan lagi, untuk mengganti beban yang dipikul anak saya selama sembilan bulan ini.” Aku mengiyakan, dan aku terus memukuli Rein seperti kesetanan. 
Aku melepaskan tanganku dari kerah kemeja Rein, mendorongnya ke tembok. Sudah cukup.
“Setan! Elu kemana aja? Gue cari elu kemana-mana gak nemu. Lu gak kasian ke Nay? Sembilan bulan, Rein, dia kesusahan sendiri. Elu ngilang gitu aja? Emang bangsat lu, Rein!”
“Gue nunggu, Kris,” Rein mengusap darah dari mulutnya, dia duduk bersandar pada tembok, “Gue nunggu reda. Gue nenangin diri gue dulu. Semuanya akan keruh kalau gue langsung muncul,”
“Berengsek! Nenangin apa? Keruh apanya? Hah!? Orang-orang nungguin lu, Nay panik, berantakan, kesakitan sendiri, elu enak nenangin diri sendiri? Kabur lu! Egois! Haaahh!! Tahi Lu!” aku berang. Omonganku tak terjaring, semua ku luapkan. Hari ini saja, aku tak pernah merasa meledak seperti ini.
“Gue cinta sama Nay. Gue nunggu saat yang pas, dan sekarang adalah saatnya.” Rein pelan.
“CINTA?? HAHAHAHAHA..” aku tertawa dan berteriak mendengarkan penjelasan Rein, entahlah padahal tak ada yang lucu. Aku dapat rasakan suhu telingaku yang meninggi, “CINTA APA NAFSU LUU?? HAAAHHH!!!?” aku berteriak tepat di depan wajahnya. Rumah Nay sudah dikerubungi oleh orang-orang. Memalukan memang.
“Gue cinta, makanya gue datang untuk nikahin Nay, dan besarin anak gue dan Nay bareng-bareng,”
“SHIIITTTTTT!!!” aku tak kontrol lagi, aku ayunkan kakiku ke tubuh Rein, berulang kali, sekeras-kerasnya, sebanyak-banyaknya. Sebelum ayah Nay menahanku. Menjauhkan aku dari Rein.
“Sudah cukup, Nak. Terimakasih.” bisik ayah Nay sambil memelukku. 
Hangat rasanya. Aku merasakan ketenangannya. Semakin aku merasakan ketenangan pada pelukan ayah Nay, semakin aku merasakan cairan hangat mengalir melalui pipiku. Semakin deras, dan deras. Aku sakit. Teramat akit. Aku dapat melihat bayangan Nay yang semakin menjauh dariku. Kehadiran Rein hari ini seakan menegaskan semuanya. Menegaskan hatiku yang harus rela melepas Nay. Menegaskan kasihku yang tak pernah sampai pada hati Nay. Aku memeluk ayah Nay semakin erat. Aku menangis semakin keras. Melepaskan orang yang ku sayang, ternyata sangat menyakitkan. Teramat menyakitkan.
****
Aku kalah, satu minggu setelah kedatangannya, Rein dan Nay menikah. Mereka yang saling mencintai, dipertemukan kembali. Mereka yang saling benci, mengakhiri rasa kecewanya dengan senyuman. Mereka yang saling terpisah, terikatkan oleh janji suci yang kekal.
Tentang aku? Aku hanya manusia terbodoh yang terlalu peduli pada hati orang lain, namun tak peduli pada hati sendiri. Jika orang bilang, cinta tak harus memiliki. Mereka mungkin benar, tapi jika memang cinta, cinta tak akan pernah rela membiarkan seseorang berjuang sendirian. Menahan rasa sakit, kecewa, kesedihan, dan kesepian sendiri. Cinta akan selalu berusaha untuk menemani, menyingkirkan sakit, kecewa, sedih, dan kesepian yang ada, bersama. Namun, Cinta memang terkadang tak pernah sampai pada orang yang benar.
End.


______________


Cerita ini adalah cerita pendek yang saya tulis untuk antologi buku "Kasih Tak Sampai Buku ke Enam" yang terbit sebagai salah satu proyek menulis nulisbuku.com.

Baca Juga yang Ini

0 komentar