Mengerti Hati

 Senyumannya, bola matanya, hidung mancungnya, potongan poninya, dan rambut hitam sepunggung yang dibiarkannya tergurai sesekali d...




 Senyumannya, bola matanya, hidung mancungnya, potongan poninya, dan rambut hitam sepunggung yang dibiarkannya tergurai sesekali diacak-acak oleh angin selagi asik bercerita. Sudah bertahun-tahun nampaknya, Gue selalu menjadi kotak saran saat dia memaksa gue untuk menemaninya makan siang di warung lesehan samping kampus. Kemudian dia mendadak menjadi manusia paling baik se-Bandung raya dengan membayar sepiring nasi beserta ayam asam-manis dan teh botol yang barusan Gue pesan. Mungkin, itu caranya agar Gue bisa berubah menjadi sebuah sound recorder selama satu jam ke depan untuk merekam semua ceritanya tanpa memotong sekalipun, kecuali dia sendiri yang menekan tombol pause-nya saat jam istirahat sudah habis, lalu menekan tombol play kembali nanti malam di tempat yang berbeda.

De, sayangnya Elu salah nilai Gue. Tanpa ditraktir makanpun, Gue akan selalu bersedia mendengarkan cerita Elu, kapanpun, dan dimanapun, karena hanya dengan itu Gue bisa berlama-lama memandangi senyuman lu, mata elu yang bulat dan seakan ada kupu-kupu sedang berterbangan disana dengan indahnya. Ya, apapun yang elu ceritain, asalkan bukan tentang cowok yang di profil facebook lu menjabat sebagai pacar itu. Tapi sayangnya Elu tidak juga mengerti, dan tidak terlalu pintar mencari topik pembicaraan lain selain cowok yang selalu Elu bilang sebagai Robert Pattison KW super, padahal menurut gue lebih mirip Robert Pattison kw 5 yang baru saja diserang zombie di film World War Z.

Serius, entah malaikat apa yang merasuki pikiran gue, hingga membuat Gue betah berlama-lama mendengarkan cerita dari Deliana, mendengarkan kata-kata yang mendadak terdengar seperti alunan melody dari petikan gitarnya Sungha-Jung di telinga gue, yang dengan romantisnya sengaja dia mainkan spesial untuk Gue dan Deliana. Terkadang Gue suka gak ingat apa saja yang sudah Deliana ceritakan dengan semangatnya ke Gue. Apa yang sudah dia ceritakan sampai menangis atau bahkan ketawa keras banget, sampai seluruh pengunjung warung lesehan melihat ke arah kita. Jelas, senyuman Deliana terlebih dahulu sukses membuat Gue kena serangan jantung sampai tidak sadarkan diri, bahkan sebelum satu patah katapun keluar dari mulutnya. Coba deh lihat matanya, yang selalu sukses ngebuat Gue rabun sejenak dan tidak bisa melihat ke arah lain selain melihat ke Deliana. Sungguh, Gue sangat tersiksa, tapi entah kenapa malah dibuatnya semakin terpesona.


Mungkin terdengar agak kebanci-bancian kalo Gue bilang, Gue udah tergila-gila sama Deliana. Mungkin terdengarnya, seakan-akan Gue adalah pecundang yang gak bisa move on, dan cuma terjebak di satu cewek, dan parahnya lagi cewek itu udah punya cowok. Ya, Gue akui kalo gue adalah penggagum rahasianya Deliana, tapi coba lihat, cowok waras mana sih yang gak mendadak panas-dingin dan mendadak kena serangan asma setiap kali diberi senyuman Deliana? Itu baru senyuman, coba bayangkan Gue yang tiap hari ngobrol sama dia. Tangan gue ditarik-tarik sama dia setiap kali jam kuliah selesai, dan diseretnya Gue ke warung lesehan favorite-nya itu untuk sekedar jadi pendengar siaran radio dadakan Deliana tentang patah hati, atau sekedar ngebanggain cowoknya yang jago main gitar itu. Rasanya pengen ngajuin diri sebagai relawan ke Palestina sambil membawa photo Deliana di dompet gue, lalu mati tertembak disana dengan photo Deliana yang melekat dengan indahnya di genggaman tangan gue. Deliana, hanya dengan menggenggam photo lu di tangan gue saat mati nanti, udah cukup bisa ngebuat Gue mati dengan bahagia. Mohon bagi yang lagi megangin pisau terus pengen nusuk-nusukin Gue, dipersilahkan.

Bicara tentang cewek, sebenernya banyak cewek yang diam-diam naksir sama Gue. Eits, dengan kata “diam-diam” disana, bukan berarti Gue gak tahu. Biasanya nih ya, cewek ini tiba-tiba datang ke Gue saat lagi makan di kantin sendirian, pura-pura nanyain tugaslah, atau nyontek catetanlah, sambil ngobrol ngaler-ngidul gak jelas, yang lama-lama menjalur ke, “Elu sebenernya masih single apa udah punya pacar sih, Ga?” 

Biasanya pertanyaan macam begini langsung Gue jawab dengan, “single,” kemudian wajah si cewek berubah jadi seneng banget, mirip anak kecil yang baru saja ditawari coklat dan lollipop dua lusin. Tapi, karena Gue udah terlanjur cinta sama Deliana (Oke, gue ngaku, gue cinta Deliana), biasanya Gue bakalan melanjutkan dengan bilang, “Tapi sayangnya Gue udah punya calon isteri.” 

Setelah mendengar penjelasan Gue yang kedua, biasanya wajah cewek ini mendadak lemes, make up-nya mendadak luntur, lalu dia akan segera pamit pergi ke wc dan gak nongol-nongol lagi. Gue selalu khawatir kalau-kalau dia sedang nyilet tangannya gitu sampai urat nadinya putus, lalu tewas dan setannya tiap malam datang ke kamar gue, menghantui Gue karena tidak membiarkan dia dekat atau pedekate sama Gue. Sumpah kalo beneran terjadi kayak gitu, serem abis. Mending dikejar-kejar Asmirandah yang minta dinikahin daripada dikejar-kejar setan cewek yang bawa-bawa seikat bunga mawar gitu, terus teriak-teriak sambil cekikikan, “Jadilah pacarku! Jadilah pacarku! Temenin Aku biar gak kesepian! Kikikikikik..” Gue jadi merinding.

Makanya, belakangan ini setiap  kali ada cewek yang tiba-tiba ngedatengin Gue pas lagi sendiri, hal pertama yang selalu Gue lakukan terlebih dahulu adalah memastikan kalau si cewek itu gak bawa silet atau senjata tajam lainnya, yang bisa membahayakan dirinya sendiri dan bahkan pastinya bisa membahayakan jiwa gue juga. Tapi tetep yang lebih bahaya sih dikejar-kejar sama setan, sumpah Gue gak ngerti gimana cara ngusir setan, sama dengan tidak mengertinya Gue gimana caranya ngusir Deliana dari pikiran gue.

Seperti sore ini, seperti biasa Deliana menunggu di depan kelas gue dengan bibir tipisnya yang sengaja dia majukan beberapa millimeter ke depan dengan pandangan matanya yang dia lempar jauh ke taman. Dari wajah cantiknya, (fyi, walaupun bibirnya dimanyun-manyunin kayak gimanapun anak ini bakalan tetep kelihatan cantik, serius) bisa Gue tebak kalo Deliana lagi bete mampus. Sudah bisa Gue tebak juga pasti monyet, maksud gue cowoknya yang sok kegantengan itu sudah menyakiti hati Deliananya gue ini. Emang gak tahu diuntung dia, sudah dapat cewek sesempurna Deliana masih ajah nyakitin. Mungkin sudah saatnya untuk Gue menggantikan posisi dia sebagai cowoknya Deliana. Andai semudah itu.

Pak Taher, dosen fisika gue akhirnya melepas kacamatanya, syukurlah, ini berarti kuliah sudah selesai. Setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas ranselnya, Pak Taher keluar kelas, yang segera disusul oleh Gue di belakangnya.

Belum selesai Gue nguap sambil meregangkan otot-otot tangan gue yang asli pegel banget, Deliana sudah nyeret tangan gue tanpa minta izin terlebih dahulu. Dasar kebiasaan, tapi gue suka sih.

Pegang tangan guenya agak lamaan ya, De. Sampai besok atau minggu depan juga gak apa dah. Pastinya Gue ngomong ini dalam hati.

“Lama banget sih tadi keluarnya,” Deliana ngomel selama jalan, bibirnya masih manyun.

Bagi beberapa orang di kampus ini yang belum tahu kalo Deliana sebenarnya udah punya pacar di luar sana, mungkin ngiranya Gue ini adalah pacarnya Deliana. Iya, lagian apa sih namanya kalo tiap hari di kampus ada seorang cowok dan seorang cewek yang hampir tiap hari makan siang bareng dan pulang pasti duduk-duduk bareng di taman dulu? Gue sih gak pernah minta buat disangkain pacarnya Deliana, tapi ya kalo ada yang nanyain langsung ke Gue, Gue biasanya gak akan bilang atau ngomen macem-macem, biarlah apa kata mereka, karena Gue termasuk satu dari banyak orang yang sangat menyakini kutipan berikut, “Perkataan seseorang itu adalah doa.” Ya, siapa tahu kan ucapan mereka itu kelak menjadi kenyataan. Ini bukan ngarep lho ya, ini doa.

“Biasalah Pak Taher tadi kebanyakan nyeritain anaknya yang lagi kuliah di Qatar, bentar lagi lulus terus rencananya langsung kerja disana. Ehm, dia nyeritanya sambil nahan nangis gitu lho, emang ya ikatan seorang ayah sama anaknya,” cerita Gue.

Sepertinya cerita anaknya ini emang udah dipersiapin. Bayangin ajah setiap kali jadwal kuliahnya Pak Taher, pasti ajah nyerita panjang lebar tentang anaknya yang usianya satu tahun di atas Gue itu. Udah pasti anaknya pinter gak ketulungan sih. Gue jadi sering kepikiran, apa Bokap-nyokap gue dengan bangganya sering nyeritain Gue ke orang lain kayak Pak Taher gitu gak ya?

“Iya lah, orang tua mana yang gak bangga punya anak yang pinter, ganteng, keren, kuliah di luar negeri karena beasiswa, dan udah bisa dipastiin masa depannya juga cerah. Emangnya elu, SP mulu tiap tahun,” ledek Deliana tanpa ngelihat ke arah Gue. Ini anak becanda tapi bibirnya masih manyun.

“Ha-ha-ha, lucu Lu,” cibir gue. “Koreksi, Gue cuma satu kali SP lho ya,” sambung gue.

“Wah masa? Kok Gue gak yakin ya?” dengan wajah dinginnya, Deliana langsung duduk di bangku taman.

Hari ini Elu nyebelin, becanda tapi mukanya tanpa ekspresi gitu. Untung Gue suka sama elu, De, kalo enggak udah gue karungin muka lu dari tadi.

Gue langsung duduk di samping Deliana. Ada hening yang panjang saat kita duduk di bangku ini berdua, tanpa ada seorang pun yang berkeliaran di taman. Tumben-tumbenan kampus udah sepi, padahal baru jam setengah lima sore. Sekarang Gue dan Deliana hanya ditemani angin yang sedari tadi iseng menggesek-gesekkan dedaunan. Otak gue mengartikan itu sebagai kode dari angin supaya Gue berani menggesek-gesekkan tangan gue ke tangan Deliana. Otak gue emang liar.

Wajah Deliana sore ini tampak anggun diterangi sinar matahari yang mulai menjingga, tapi jauh lebih merana jika Gue lihat lebih dalam. De, beban di mata lu berat  banget, kenapa gak lu tumpahin sebagian ke Gue?

“De, kamu baik-baik ajah kan?” sapa Gue dengan suara sehalus mungkin. Sumpah Gue gak tahan dengan pemandangan indah di depan mata gue yang lagi hancur kena badai besar ini.

Sekian detik tanpa mendapatkan balasan dari mulut Deliana, dia malah membalas pertanyaan gue dengan air matanya yang perlahan meluncur bebas ke pipinya. Kenapa Lu, De?

Kedua tangan mungilnya berusaha secepat mungkin mengeringkan air mata di pipinya, yang tak juga berhenti mengalir. Napasnya mulai kencang tak beraturan, matanya masih saja melihat ke seberang taman tanpa fokusnya. Please, De, cerita ke Gue, sebenernya ada apa?

Ada ratusan pertanyaan yang tak juga meluncur di mulut gue, dan akhirnya hanya mengisi kotak draft di kepala gue. Ini pasti gara-gara monyet lu itu kan? Biar Gue habisin dia nanti, berani-beraninya dia ngebuat cinta Gue ini nangis.

Dari majalah cewek yang waktu itu pernah gak sengaja gue baca, saat cewek nangis, dia hanya butuh teman yang mau nemenin dia sampai berhenti nangis, bukan teman yang banyak nanya ini-itu yang malah ngebikin cewek itu merasa bersalah dan makin nangis sejadi-jadinya. Berdasarkan itu, akhirnya yang Gue lakuin cuma merapat ke Deliana, langsung Gue rangkul pundaknya, gue usap-usap, dan gue belai kepala dan rambutnya pelan. 

"Gue ada disini, De, cuma buat Elu. Jangan sedih," bisik gue.

Tahu satu kejadian yang bener-bener gak Gue sangka sebelumnya? Dia langsung meluk Gue. Deliana, cewek tercantik se-Bandung raya atau mungkin se-Indonesia, si cintanya gue itu meluk Gue erat banget. Deliana nangis sejadi-jadinya di pelukan Gue. Oh, Tuhan, Gue janji akan belajar mati-matian biar dapat beasiswa ke Qatar dan dapat pujian dari Deliana kayak anaknya Pak Taher itu, asalkan Engkau mau menghentikan waktu saat ini. Please Tuhan, saat ini saja.

Jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya, ditambah dengan hembusan napas Deliana yang begitu terasa di dada gue, membuat Gue semakin tak bisa menutupi diri, kalo Gue bener-bener deg-degan. Gue yakin Deliana juga bisa merasakan kencangnya detakkan jantung gue yang semakin dia menenggelamkan mukanya di dada gue, detakkannya semakin kencang.

Gue elus-elus lagi punggung Deliana, lalu Gue belai rambutnya. Gue beranikan diri untuk bicara padanya.

“Deliana,” sapa gue pelan.

Deliana masih terisak di pelukan gue. Dada gue terasa hangat. Gue berani jamin, baju gue udah basah oleh air matanya. Tak apalah, malahan Gue senang, nanti sampai rumah, Gue bakalan nyimpen dan jaga baju ini dengan baik-baik dan bakalan gue kasih label sebagai baju pertama yang dipeluk dan dibasahi oleh air mata Deliana. Oke ini norak, tapi inilah cinta. Cinta bisa merubah orang keren macam gue menjadi orang ternorak di dunia.

“De, udah ya jangan nangis. Nanti kalo ada yang lihat berabe, bisa-bisa nyangkain Gue udah hamilin elu,” bisik Gue pelan.

Gue bisa dengar Deliana tertawa pelan sambil berusaha keras untuk menahan isakkannya, “Dodol!” Deliana memukul dada gue pelan. Dia masih menundukkan kepalanya, dan menghela nafas berulang kali.

“Udah mending sekarang temenin Gue hunting photo aja yuk?” ajak Gue. Kebetulan hari ini Gue bawa DSLR gue, emang udah lama banget gue puasa ngejepret, gatel rasanya tangan gue pengen mijit tombol shutter, terus senyum-senyum ke layar hasil jepretannya. Oke oke.. sebenernya udah lama juga Gue pengen nambahin koleksi photo Deliana. Kalo lu tahu ajah, di kamar gue udah berderet photo Deliana dalam berbagai ekspresi, mungkin sebentar lagi Gue akan buka museum photo Deliana.

Deliana hanya menganggukkan kepalanya, pertanda dia bilang yes! Dan hati gue pun berteriak “YEEEESSSSS!!” Lebih kencang.

*****

Sambil melihat beberapa hasil jepretan barusan lewat layar DSLR gue, Gue mendengarkan setiap kata yang keluar perlahan dari mulut Deliana. Suara Deliana yang pelan, dengan helaan nafas berulang kali yang terdengar sangat berat. Matanya masih lembab, dan melihat lurus ke depan, menatapi motor, mobil dan orang-orang yang lalu lalang di jalan Braga. Sesekali Gue mengikuti arah matanya, melihat ke arah dimana mata Deliana melihat. Hanya berharap agar Gue dapat melihat apa yang Deliana lihat, dan Gue bisa rasa apa yang Deliana rasa sekarang.

Gue mengarahkan kamera gue ke arah Deliana, fokus gue arahkan ke wajahnya yang seperti baru saja diserang oleh sekawanan perompak, salah satu perompak itu berhasil mengambil senyumannya, dan perompak lainnya berhasil mengambil kupu-kupu di matanya. Yang tersisa sekarang hanyalah Deliana tanpa senyuman, dan tanpa kupu-kupu matanya yang selalu nyasar berterbangan di kepala gue itu.

Gue berhasil mengambil photo Deliana berulang kali. Semakin banyak jari Gue menekan tombol shutter, sebanyak itu pula Gue perlahan mengerti perasaan yang sedang dirasakan oleh Deliana hari ini. Semakin Gue ngerasa gak ada apa-apanya Gue, kemana saja Gue selama ini? Sampai Gue gak tahu kalo perasaan Deliana ke cowoknya itu sangat besar. Gue gak yakin perasaan dia ke gue sebesar itu pula, mungkin kecil, jauh lebih kecil dan gak ada apa-apanya.

Gue mematikan kamera gue. Saat suara Deliana tak lagi sejelas sebelumnya, suara di hati gue malah terdengar semakin jelas. Hati gue menangisi hati elu yang ternyata sebesar itu untuk cowok lu, De. Bahkan mata lu tidak sangat kuat untuk menahan air mata yang memukul-mukuli kelopak mata lu, hingga akhirnya berhasil keluar, dan meluncur bebas menuju pipi lu. Kemudian Elu bercerita dengan suara yang tak lagi keras, jika hubungan lu dengan cowok lu itu sudah kandas.

Sial! Perasaan apa ini? Apa yang harus Gue lakuin sekarang? Ketawa gara-gara seneng akhirnya Deliana cintanya gue itu udah putus sama pacarnya, jadi Gue bisa dapetin dia dengan mudah? Apa Gue harus ikut nangis karena Deliana ternyata sangat mencintai cowoknya itu?

Gue selama ini cuma kayak orang begok yang ngabisin waktunya cuma buat nunggu seorang cewek yang ternyata cinta banget sama cowoknya. Berharap dari dulu hubungan mereka bisa renggang terus Gue bisa masuk, dan ngerebut hati Deliana. Nyatanya sekarang perasaan gue malah kayak gini. Gue lebih milih ditusuk-tusuk dengan pisau sama lu, De. Itu akan jauh lebih baik daripada kayak gini. Oke, fixed Gue pecundang.

Hati gue makin hancur saat Elu menangis sejadi-jadinya, dan menjadikan tangan indah lu itu sebagai wadah penampung air mata yang tak pernah punya perasaan, membiarkan hati gue menangis melihat lu.

Dengan segala kejantanan yang tersisa kini, Gue tak hiraukan semua tangisan hati gue yang super cengeng ini dengan mencoba menenangkan Deliana, walaupun Gue tahu akan jauh lebih sulit saat hati gue juga sedang sangat membutuhkan seseorang yang bisa memberikan ketenangan.

Gue merapat ke Deliana. Sengaja tangan gue, gue daratkan di kepalanya lalu memain-mainkan rambutnya. Sekarang Gue seperti sedang membelai duri landak, ternyata hati mempengaruhi segalanya, termasuk ikut mempengaruhi indera peraba gue agar dapat merasakan kesakitan juga. Mata gue tak henti melihat gerakan tangan gue, apa sih yang sebenernya lagi Gue lakuin? Gerakan tangan gue mendadak berhenti, gerakan tangan gue sekarang jauh lebih kaku dari robot-robot buatan Jepang. Hingga akhirnya, Deliana tampak mengeringkan air mata di pipinya dengan lengan sweater longgar berwarna biru muda yang dipakainya malam itu.

“Balik yuk, Ga?” ajak Deliana kemudian.

Sepuluh menit kemudian, Gue dan Deliana sudah tenggelam dalam keheningan pikiran masing-masing. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut gue, biasanya kalau lagi di jalan gini, Deliana pasti tertawa membalas setiap ucapan gue, atau hanya tersenyum, manis sekali, Gue biasanya ngintip dia lewat spion di sebelah kiri gue, yang sengaja Gue atur agak ke atas biar setiap dia tersenyum, Gue bisa melihatnya dengan jelas, dan jika lawakan gue garing, biasanya Deliana akan menjitak helm yang Gue pake, sambil bilang, “Wooo… garing!!” tapi dia tetep ketawa. Sekarang berbeda, entah letak kesalahannya ada dimana, yang Gue rasain, dada gue mendadak sakit.

Setelah sampai di depan rumah Deliana, saat memasuki pagar, dia hanya mengucapkan satu kalimat yang terus Gue inget sampai sekarang dan gak juga Gue ngerti apa maksudnya.

“Makasih ya Rengga, selama ini emang ternyata Elu yang paling ngerti Gue, bukan Andre.”

Apa ini artinya Deliana baru saja menyadari kehadiran gue dan berartinya Gue dalam hidupnya? Elu kemana ajah De selama ini? Setelah Gue hampir atau bahkan sudah nyerah untuk mendapatkan hati elu, Elu baru bilang itu ke Gue. Sadis banget Gue rasa, Gue kayak tempat sampah, tempat Elu ngebuang semua unek-unek, tempat ngebuang semua sisa-sisa perasaan Elu tentang Andre yang sudah membusuk itu ke Gue. Gue senang, De, gue senang. Yang gue gak senang, kenapa sih Elu cuma ngejadiin gue tempat pelarian doang?

****

Seharian ini Gue gak ngelihat rambut Deliana yang dimainin angin. Telinga gue juga gak budeg gara-gara ngedengerin cerita Deliana seharian. Tangan gue kayak yang kemasukkan angin, gak ada tangan Deliana yang biasanya narik-narik paksa Gue ke warung lesehan di sebelah kampus, yang malah bekas tangannya Deliana itu terasa melekat banget di tangan gue, hangat, sampe berminggu-minggu hangatnya gak hilang. Gue jatuh cinta, tapi Deliana tak juga menangkap Gue, hingga akhirnya Gue jatuh berkeping-keping di tanah.

Kontak Deliana tak menghiasi daftar panggilan terakhir atau kotak pesan di handphone gue. Hari ini Deliana menghilang, tidak datang ke kampus, tidak mengirimi Gue kabar juga. Gue pengen ngehubungin dia, tapi gue rasa saat ini gak tepat, Deliana sedang membutuhkan waktu untuk sendiri, tanpa kehadiran gue atau kehadiran Andre (siapa tahu). Gue hanya berharap semoga Deliana segera kembali menjadi Deliana yang bisa terus ngebuat Gue ketawa, Deliana yang ngebuat Gue insomnia gara-gara diteleponin terus tiap malem. Gue kangen Elu, De, walau Gue udah coba untuk tidak mengharapkan Elu saat ini, tapi Gue gak bisa bohong, Gue masih sangat mengharapkan Elu.

Lusa paginya, doa gue terkabul. Deliana masuk kampus lagi, dengan senyumnya, dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai, dengan sweater biru muda yang kegedeannya, sepatu cats birunya, dan motornya Andre. Ya, Deliana datang diantar oleh Andre.

Doa gue beneran terkabul, Deliana benar-benar kembali menemukan kebahagiaannya, Andre. Ya, Andre lah yang bisa ngebuat hatinya bahagia bukan Gue.

Doa gue untuk segera menemukan arti dari kalimat yang Deliana ucapkan ke Gue malam itu, tak juga terkabul. Gue belum mengerti dengan kalimatnya Deliana.

Mungkin Deliana benar, Gue adalah orang yang paling ngerti tentang perasaannya, bahkan mengungguli mantan dan pacarnya sekarang, Andre. Yang Gue gak ngeri cuman dua. Gue gak ngerti, kenapa Deliana ngucapin itu ke Gue? dan Gue juga ternyata sama sekali gak pernah bisa ngerti semua hal yang ada di dalam hati lu, Deliana.

***

Nb : Cerpen ini recycle-an cerpen gue sebelumnya yang diposting di ceritamu(dot)com.

Baca Juga yang Ini

0 komentar