Rani

“Aku sehat. Aku rindu kamu. Aku ingin kamu disini sekarang, rumah ini rasanya sepi sekali setiap siang. Apa kamu tidak tertarik?” Begi...



“Aku sehat. Aku rindu kamu. Aku ingin kamu disini sekarang, rumah ini rasanya sepi sekali setiap siang. Apa kamu tidak tertarik?” Begitu kata Rani, yang kemudian disambut dengan berdirinya bulu kudukku. Bergairah.

“Apa kamu gak rindu aku juga? Pelukanku gak pernah sehangat itu di dadamu? Atau, memang wajahku yang tak pernah menarik untuk kau puji lagi?” kata Rani kemudian. Wajahnya merona. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, “Sayang, aku kesepian. Datanglah walau sebentar. Gantungkan jaketmu yang kehujanan di kamar mandi, biar tak ada yang tahu, ada kau disini.”

Sayang katanya? Gantungkan jaket yang basah karena air hujan di kamar mandi agar tak ada yang melihat, katanya? Apa aku tak salah dengar? Ah, dahiku berkeringat.

“Sayang, katakan padaku kau akan datang lagi, aku rindu padahal baru kemarin bertemu. Kita padukan rindu ini, kita ungkapkan cinta kita dalam belaian yang selalu kau janjikan. Kau rindukan? Malam tanpamu hanya berisi kesunyian, dan dingin. Satu bulan ini aku bosan mendengarkan jangkrik yang terus memanaskan telingaku, bosan dengan suhu dingin Bandung yang selalu membuat selimut memelukku terus, erat. Sayang aku ingin kau, bukan selimut,” Rani membuat bulu kudukku berdiri, nafasku berburu.

Rani tersenyum, tawa kecilnya mendobrak lorong telingaku, “Astaga.. sungguh?? Kamu sudah ada di depan rumah? Kenapa tidak bilang? Kamu emang pintar buat kejutan!”

Rani berlari menuju pintu, membukanya.

“Aku sudah tahu semua, ternyata aku bukanlah laki-laki satu-satunya dalam rumah ini. Selama aku pergi, kamu ditemani terus dengan dia?” Aku yang sejak tadi bersembunyi di ruang Ana, anakku, keluar begitu melihat Rani membukakan pintu untuk seorang pria asing. Aku kecewa sungguh.

“Rani, kita cerai,”



****

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Baca Juga yang Ini

0 komentar