Catatan perjalanan
cerita perjalanan
Garut
Gunung
hiking
Hutan Mati
nature
Papandayan
pendaki gunung
Pondok Saladah
Tegal Alun
UNSIKA
TERNYATA INI BUKAN PUNCAK PAPANDAYAN! -PART 2-
02:25:00
“Tadi sebelum kita sampai sini, di depan kita udah ada dua bapak-bapak yang jalan duluan kan? Kalo mereka jalan ke arah sini,
harusnya gak ada jaring laba-laba ini,” kata saya ke Teja, Bella dan Fatkhan.
Saya menghela nafas sebentar, mereka masih menatap saya dengan serius menunggu lanjutan kata yang ingin saya sampaikan, “Kita salah jalan!”
Saya menghela nafas sebentar, mereka masih menatap saya dengan serius menunggu lanjutan kata yang ingin saya sampaikan, “Kita salah jalan!”
“Jadi mau gimana nih? Udah jam berapa
sekarang?” tanya Teja.
“Jam 16.20,”
“Gimana jadi?”
“Mau balik lagi nih kita?”
“Yaudah balik lagi aja ke pertigaan yang ada pohon merah tadi.
Kita beloknya ke kanan kan tadi? Nah, sekarang kita pilih jalan yang ke kiri, terus
ke atas,” ini saya yang usul. Entah apa yang sedang saya fikirkan saat itu,
padahal hari sudah sore, dan kami tidak tahu untuk sampai di puncak butuh waktu berapa
lama lagi.
“Yaudah ayuk. Sayang juga kan, udah ke sini,
tapi gak sampe ke puncaknya. Ayuk.. Ayukk..” seperti biasa Bella yang paling
semangat, langsung mengiyakan.
Teja juga langsung mengiyakan. Fatkhan tidak
komen apapun, itu artinya iya, ngikut
saja.
Kami balik lagi, posisi masih sama, saya di
depan, Teja barisan ke dua, Bella ke tiga, dan terakhir Fatkhan. Kami menelusuri jalan
tadi, hingga sampai di pertigaan yang ditandai dengan pohon berwarna merah. Kami ambil jalan lurus (berbalik arah dari arah perjalanan awal). Benar saja, ada
marka jalan disana. Marka jalannya terdapat setelah belokan jalan, pantas saja jika tadi kami tidak melihatnya.
Dari jalan ini, marka terlihat jelas, jalan
terus menanjak, melewati batu-batuan, jalan semakin sempit karena banyak
dipenuhi oleh daun-daun pohon, akar-akar liar, dan batang pohon tumbang yang
menutupi jalan.
Sekitar pukul 17.00, kami terus berjalan dengan hanya
beberapa kali berhenti untuk istirahat, itu pun sebentar. Setiap kali berhenti tidak pernah lebih dari lima menit. Hingga kemudian kami mendengar suara dua Bapak tadi dari atas.
“Wooyy.. Puncak nih Puncak‼” teriak bapak
itu, suaranya sangat jelas terdengar di telinga kami.
Nafas kami lega, suara Bapak itu sudah
terdengar jelas, itu artinya perjalanan menuju puncak sudah sangat dekat.
“Woyy.. Tunggu kita nyusul‼!” balas teriakan kami.
“YOOOO‼” balas Bapak itu lagi.
Suara dari dua bapak itu, seakan menjadi energi
baru yang menambah semangat, setelah tadi kami hampir menyerah sampai di
puncak. Kami segera mempercepat langkah kami. Tak lama, saya melihat cahaya dari atas yang
cukup terang, dan tidak terlihat ada pohon lagi di atas. Tidak mungkin salah
lagi, pasti itu puncaknya!
Saya mempercepat langkah saya, setelah
menginformasikan pada Teja, Bella, dan Fatkhan jika puncak sudah terlihat.
Mereka pun ikut mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya kami sampai di atas
dan..
Ini bukan Puncak Papandayan, ini hanya puncak
bayangan! Damn!
![]() |
view dari puncak bayangan |
![]() |
*kalem* |
Istirahat sebentar di sini, sebelum kami
melanjutkan perjalanan.
****
Rute selanjutnya banyak berkelok, tak jarang kami
harus menunduk karena terhalang oleh dahan pohon landai, ataupun ranting dan batang pohon
yang menghalangi jalan.
Tepat saat terdengar suara takbir, kami
bertemu dua bapak tadi. Mereka sedang berjalan turun. Saya langsung memberikan
matras yang saya temukan saat memasuki hutan tadi, ternyata benar matras ini
adalah milik si bapak yang bertopi.
“Buruan, udah gak ada siapa-siapa lagi.
Kalian rombongan yang terakhir.”
Kata-kata dari bapak itu, membuat kami
semakin mempercepat langkah kami, dan membuyarkan harapan kami untuk duduk-duduk, apalagi istirahat dahulu sambil memakan cemilan dan ngopi bareng bapak ini. Saya sempat
berfikir bapak-bapak ini akan menunggu kami untuk turun bersama, ternyata
tidak.
Tepat Maghrib, jam tangan saya menunjukkan
pukul 17.43, dengan kondisi baju, jaket dan celana sudah sangat basah, dan air
dari daun-daun pepohonan yang memenuhi jalan tadi. Kami mengambil beberapa
photo di puncak, kemudian segera bergegas untuk turun, sebelum jalan
benar-benar gelap, karena kami khawatir akan kembali tersesat di pertigaan pohon merah
tadi, ditambah dengan penerangan yang sangat kurang. Hanya saya yang membawa headlamp, dan Teja membawa senter itu
pun dengan kondisi baterai bekas, sedang Bella dan Ucup hanya mengandalkan
penerangan dari handphone dan emergency
lamp tang multi.
![]() |
ini foto muncak kita.. yeaahh!! |
Berdoa sejenak agar diberi kelancaran dan
keselamatan selama perjalanan kembali ke tenda, pukul 17.50 kami turun dengan
posisi yang sama dengan saat naik, saya di depan, kemudian Teja, Bella, dan
Fatkhan di paling belakang.
![]() |
ini view di puncak saat kita turun. |
Keterbatasan penerangan membuat kami jalan
perlahan, saya fokus ke arah depan membuka dan melihat marka jalan, Teja
berjalan sambil sesekali mengarahkan lampu senter ke belakang untuk membantu
penerangan Bella dan Fatkhan yang kurang. Sepanjang jalan kami saling
berkomunikasi untuk memberikan peringatan apabila terdapat dahan pohon, batang
pohon, jalan yang curam, atau apapun yang menghalangi perjalanan.
Syukurlah marka terlihat dengan jelas. Kami berhasil sampai
dengan pertigaan pohon merah yang sempat kami khawatirkan. Perjalanan pun lancar hingga kami sampai di muka sungai kecil
menuju Tegal Alun. Rasanya angin terasa semakin dingin, badan saya mulai
menggigil dan tangan saya sudah sangat terasa kaku. Sepanjang jalan terus saya
gesek-gesekan kedua telapak tangan saya sambil terus saya tiupi udara dari
mulut.
Tepat sesaat setelah menyeberang sungai, dan
hendak naik ke Tegal Alun, senter Teja berkedip lemah, kemudian mati. Jam saya
sudah menunjukkan pukul 18.30, sekeliling sudah sangat gelap. ini artinya
cahaya yang benar-benar bisa diandalkan hanya tingga satu, cahaya dari headlamp saya. Kami harus
benar-benar bergegas sebelum headlamp
yang saya pakai mati juga.
Mulai dari sini, saya berjalan perlahan,
melangkah beberapa langkah ke atas Tegal Alun sambil mencari jalan yang tidak
licin dan aman untuk di lalui, kemudian berbalik untuk memberikan penerangan ke
belakang. Dan begitu seterusnya hingga akhirnya kami sampai di atas tegal Alun.
Saya masih ingat, saat di Tegal Alun sore
tadi, kami berjalan mengikuti setapak jalan berwarna kuning akibat dilalui air
Belerang, ya mungkin jalur air, atau apalah. Sehingga, begitu sampai di Tegal
Alun kami langsung mencari jalan yang berwarna kuning. Begitu terlihat, kami
langsung berjalan mengikuti jalur air itu.
Untunglah pencahayaan dari Bulan malam ini
sangat terang, sehingga perjalanan menjadi lebih cepat, karena saya tidak harus
berbalik berulang kali ke belakang untuk memberikan pencahayaan. Satu hal yang
kemudian saya khawatirkan di sini adalah saat Fatkan tiba-tiba membacakan ayat
suci dengan suara yang agak dikeraskan. Entahlah, seharusnya saya lebih merasa
aman dan tenang tapi ini malah sebaliknya. Saya jadi ingat kembali kejadian
saat saya dengan Andes dan Riri menuruni puncak Mega, gunung Puntang, saya
membacakan doa dengan suara yang agak dikeraskan saat diperlihatkan ‘sesuatu’
hingga badan saya terasa sangat lemas. Saat ini pun saya menduga jika Fatkhan
mengalami hal yang serupa. Dalam hati, saya ikut melantunkan doa sepanjang
jalan dan mempercepat langkah kaki saya. Dan terus mencoba untuk menghilangkan
fikiran yang tidak-tidak.
Jalan kuning ini menuntun kami menuju samping
ujung Tegal Alun ke muka hutan. Tenda orange
tepat terlihat di hadapan kami, tempat yang kami tandai saat naik sore tadi. Ini sangat
melegakan kami, artinya kami tidak tersesat.
Sebentar menyapa si yang empunya tenda, dan
bertanya untuk memastikan jika jalan menuju hutan mati adalah benar menuju
jalan yang ada di hadapan kami.
“Ke hutan mati tinggal lurus, turun ikutin
jalan ini,” kata si empunya tenda sedikit teriak dari dalam tenda.
Tanpa menunggu lama, kami berjalan turun
mengikuti jalur. Trek menuju hutan mati ini sudah sangat basah dan gelap,
sehingga saya harus perlahan dan berulang berbalik ke belakang untuk membantu
penerangan.
****
Terus berjalan, pancaran lampu-lampu tenda
dari kejauhan sudah terlihat berkelap-kelip. Kami pun terus berjalan mengikuti
arah lampu-lampu tenda tersebut. Hingga di suatu turunan kami dihadapkan pada dua
belokan. Tak ada marka yang menunjukan kami harus ke kanan atau kiri. Dan saya pun
baru menyadari, sedari masuk ke hutan mati tadi, kami tidak menemukan satu pun
marka jalan.
Kami coba ke arah kiri terlebih dahulu, dan
ternyata jalannya sangatlah curam, ketika di senter lebih dekat ternyata jalan
ini mengarah ke dalam jurang. Kami pun berbalik dan coba berjalan ke belokan
yang sebelah kanan, dan ternyata sama. Curam, ini pun jalan mengarah ke jurang.
Mulai cemas, saya dan Teja memastikan kembali
ke kiri dan kanan jalan, apakah ada jalan lain di samping jurang, ternyata
memang benar tidak ada. Kami berkumpul kembali, saling memenangkan diri, karena
memang saat ini kami sudah cukup cemas. Ditambah dengan stok minuman apalagi
cemilan yang sudah habis. Kami berdoa kembali agar diberikan kelancaran,
petunjuk jalan, dan dapat kembali dengan selamat, tanpa kekurangan satu hal
pun.
“Ya Allah, beri petunjuk kepada kami. Ampuni dosa-dosa kami apabila kami melakukan kesalahan selama di sini, dan Apabila kami melakukan sesuatu yang kurang ajar dan tak berkenan di sini. Selamatkan kami, tunjukan jalan untuk kami dapat kembali ke tenda berkumpul kembali bersama teman-teman kami yang pasti sudah khawatir menunggu kami sedari tadi. Aamiin,” doa yang dipanjatkan Teja di tengah hujan rintik dan hembusan angin ini sangat menyentuh.
Bukan drama, saya benar-benar merasa lemah
dan bersalah. Jika saja tadi sore saya tidak mengusulkan untuk melanjutkan
perjalanan ke puncak, pasti sekarang kami sudah berada di tenda, sedang
menyantap makan malam, bercanda, saling menghina, guyon, dan tertawa, tidak
kedinginan, lemas, cemas, dan hilang arah seperti saat ini.
Kami putuskan untuk kembali ke atas,
menelusuri jalan ke arah belakang. Shit,
that happen! Sama sekali kami
kehilangan arah. Tiba-tiba kami tak tahu tadi kami berjalan ke arah mana? semua
arah tampak sama, tak ada satu pun tanda jalur pendakian yang bisa di lalui,
semua arah tertutup oleh pohon-pohon mati!
Saya arahkan cahaya ke seluruh arah, ke atas
batang dan ranting pohon. Kami pun menangkap satu buah marka berwarna ungu.
Namun kami tak tahu marka tersebut mengarah ke atas atau ke bawah, ke arah
kanan atau kiri?
Kami berjalan menuju marka tersebut, cahaya
kembali di arahkan ke sekeliling untuk mencari marka ke dua. Kami pun
mendapatkan marka ke dua, marka berwarna merah menuju ke arah kanan.
Kami langsung berjalan menuju marka berwarna
merah tersebut, sial, kami tak kunjung menemukan marka ke tiga. Lemas rasanya.
Saya berulang kali berteriak berharap seseorang mendengar kemudian memberikan
tanda pada kami. Tapi percuma. Fatkhan yang sudah sangat lelah berulang kali
duduk bahkan menenggelamkan wajahnya berulang kali di batang pohon, dan sempat
tertinggal langkah beberapa kali. Sedang kami sudah sama-sama tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Yang saya takutkan saat ini adalah munculnya rasa menyerah, frustasi, dan pasrah.
Hujan kemudian turun beserta angin dengan
cukup lebat, kami harus terus berjalan, bergerak, jika tidak maka dapat
dipastikan suhu badan akan sangat drop. Entahlah kami berjalan ke arah mana,
yang jelas kami mengikuti arah dari marka kedua, lurus.
Petunjuk kami dapatkan kembali, dari kejauhan
kami melihat beberapa cahaya tenda. Saya arahkan cahaya ke sana,
dan cahaya tenda merespon. Kami coba berteriak ke tenda itu tapi tak kunjung
mendapatkan balasan. Suara kami sepertinya tidak terdengar, pertanda tenda tsb
berada sangat jauh.
Terus berjalan, kami menemukan satu buah
tenda berwarna orange di tengah hutan mati. Syukurlah, rasanya bahagia sekali
menemukan tenda ini. Seperti baru saja mendapatkan pacar baru, saya berlari
menuju tenda tersebut, diikuti oleh Teja, Fatkhan dan Bella.
Menyapa si yang empunya tenda untuk bertanya
jalan dari luar, keluarlah satu orang bapak-bapak berbadan agak gelap, tinggi berisi, yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus merah bertuliskan "PAPUA" yang nampaknya sedang
berbulan madu dengan isterinya. Beliau menunjukkan jalan menuju Pondok Saladah.
“Dari sini kalo langsung lurus susah, mending
ke arah sana dulu, terus belok kanan, muter, nanti ada jalur turun, ikutin
itu,” kata bapak itu sambil menggerakkan tangannya menunjukan jalan.
Bapak ini pun memberitahu jika tadi ada dua orang yang menanyakan arah yang sama dengan kami. Dua orang? pasti itu dua bapak yang bertemu dengan kami saat perjalanan ke puncak. Ya, mereka juga
sama tersesat.
Saya sedikit tidak ngeh dengan ‘arah sana,
terus belok kanan’, saya pun menanyakan patokan untuk belok ke kanannya, apa
ada marka atau tanda apapun? Ternyata sama sekali tidak ada patokan untuk belok
ke sana. Bisa-bisa kami tersesat lagi.
Tidak enak berulang kali bertanya, dan
mengganggu bapak ini, kami putuskan untuk berjalan kembali, setelah sebelumnya
meminta sedikit roti dan air minum untuk sekedar sedikit mengisi perut kami
yang sudah kosong.
Kami ikuti arah yang ditunjukan bapak tadi,
lurus, kemudian belok kanan berdasakan feeling,
ya, karena tidak ada marka atau patokan apapun, saat ini kami berjalan
berdasakan insting.
Untuk ke sekian kalinya kami dihadapkan
dengan jalan curam menuju jurang. Saya melihat rasa frustasi dan kelelahan yang luar biasa pada wajah teman-teman. Penyesalan saya yang mengusulkan menuju puncak lagi-lagi
berputar terus di kepala saya. Jika pahitnya terjadi sesuatu yang buruk pada
saya dan teman-teman, saya akan menjadi satu orang yang paling menyesal
pastinya. Itu pun yang terus membuat saya terus mempercepat langkah kaki saya,
mengarahkan cahaya ke segala penjuru hutan untuk mendapatkan ‘sesuatu’. Berlari
kembali jika melihat cahaya ke sana dan kemari, ya, terus berusaha untuk dapat melenyapkan rasa penyesalan saya.
****
Naik ke atas lagi, menjauhi jurang, kami
berjalan balik, saya berniat untuk mengarahkan perjalanan ini ke tenda orange tempat
kami bertanya pada bapak-bapak tadi. Tapi entah kaki saya mengarah kemana, saya
rasa saya berjalan ke arah tenda orange, tapi kenyataannya malah berjalan ke
arah lain.
Dari kejauhan Bella melihat satu lampu,
seperti senter yang bergerak. Kami sempat bahagia melihatnya, berharap itu
adalah Bang Toat atau Agus yang meminta bantuan pada tim rescue untuk menemukan kami. Melihat teman-teman yang sudah lemas,
saya sedikit berlari mendekati cahaya itu menyorot cahaya itu dengan headlamp, tapi tidak mendapatkan
balasan. Saat saya perhatikan lagi, ternyata itu bukan cahaya senter yang
bergerak. Cahaya itu berada di atas bukit yang letaknya berseberangan, terpisah
dengan tanah yang sedang kami injak saat ini. Tapi berkat cahaya itu, dari
kejauhan juga saya menemukan tenda kembali, kali ini tenda berwarna merah yang
cukup besar. Awalnya saya sangat berharap dapat bergabung untuk bermalam
di tenda, mengingat kondisi kami yang sudah sangat lelah dan hujan angin yang tak
kunjung berhenti, saat itu sudah jam 21.15.
Saya berlari terlebih dahulu menuju tenda,
Teja, Bella dan Fatkhan menyusul di belakang. Bertanya jalan menuju Pondok
Saladah pada si mas-mas yang empunya tenda, yang mungkin berusia tak jauh dari
usia kami. Jawabannya sama dengan si bapak tenda orange awal. Lah, sedari tadi kami
berjalan kemana?
“Tadi juga kita sempat nanya ke tenda yang
lain, katanya jalannya juga ke sana sama dengan yang mas bilang. Tapi kita mentok di jurang lagi,” kata saya.
“Iya jalan lagi aja, nanti setelah jurang, ada jalan yang agak landai. Nah baru bisa nyeberang terus turun. Ikutin jalan,
nanti banyak tenda. Itu artinya udah menuju ke Pondok Saladah,” jelas si Mas
itu lagi.
Pamit, kami berjalan lagi. Setidaknya kata
kunci yang saya dapatkan adalah ‘jalan landai’ yang kemudian bisa diseberangi.
Jika mengikuti arah yang ditunjukan oleh si mas tadi, hasilnya bakalan sama,
akan berputar-putar lagi. Akhirnya kami putuskan untuk berjalan menyusuri
samping jurang, hingga menemukan jalan landai.
****
Ingat jembatan kecil yang terbuat dari batang
pohon yang menyambungkan hutan kecil dan hutan mati yang pernah saya sebutkan
di PART1? Akhirnya kami menemukannya.
“INGET INI GAK, BEL??” teriak senang saya
pada Bella.
Bella melihat ke arah saya, dapat jelas saya
lihat raut mukanya yang muram tiba-tiba berubah bercahaya, saya temukan sebuah
harapan di sana.
“GUE INGET! Tadi siang kita lewat sini kan?”
Bella mengiyakan.
“BENERAN INGET JALAN INI KAN LU, BEL??” saya
mengulangi pertanyaan saya. Saking senangnya, saya bertanya dengan suara yang
keras.
“GUE MASIH INGET BANGEETT.. AYUK LANJUT!”
Bella semangat langsung berjalan di barisan paling depan.
Seperti siang tadi, Bella berjalan di depan, saya
berjalan di belakang Bella untuk memberikan cahaya, kemudian disusul oleh Teja,
dan Fatkhan.
Alhamdulillah, jalan semakin turun, dengan
belokan trek yang sangat jelas. Saya masih ingat jalan ini. Tenda mulai
terlihat di samping kiri hutan kecil, tanah yang kami pijak, tanah berwarna
putih yang sudah sangat becek dan dapat terlihat dengan jelas bekas-bekas sol
sepatu disana.
Setelah saya melihat rawa. Saya berani
memastikan, kami sudah tidak tersesat lagi!
Tak pernah saya duga, melihat rawa, berjalan
kotor-kotoran, bahkan terjelembab di rawa rasanya akan begitu bahagia seperti
saat ini. Berbeda dengan siang tadi, saat berjalan dengan sangat hati-hati saat
melewati rawa agar tidak terperosok.
****
Selesai membersihkan kaki, tangan, dan wajah,
kami berjalan ke Pondok Saladah melewati puluhan bahkan lebih tenda yang berjejer tak tentu arah, untuk dapat menuju tenda kami
yang memang posisinya agak menjorok ke dalam pohon-pohonan.
Sialnya, malam yang sudah gelap, dan kondisi tempat tenda yang sudah berbeda, sudah ada beberapa tenda baru yang nampaknya baru
datang sore tadi, membuat kami kesulitan untuk menemukan tenda. Astagaa.. ini
akan jauh lebih sulit, karena akan sangat konyol jika kami bertanya kepada orang-orang
di sana untuk mengetahui letak tenda kami ada dimana?
Kami berjalan kesana-kemari sambil berdebat
arah tenda yang benar ke arah mana?
Lagi-lagi saya berani mengatakan ini adalah
mukjizat dari Tuhan, suara Bella yang memang agak keras terdengar oleh Agus
dari dalam tenda. Agus langsung keluar tenda dan berteriak memanggil kami yang
sedang kebingungan mencari letak tenda.
Alhamdulillah.. saya tidak bisa menggambarkan
betapa bahagianya melihat kembali Agus, Bang Toat dan yang paling penting, tenda yang sudah kering‼
Bang Toat tampak sangat khawatir, dia
langsung mendekati kami, menyalami dan memeluk kami satu persatu. Wajar, Bang
Toat adalah personel yang paling senior di sini, jika ada apa-apa yang terjadi
pada kami, dia juga yang akan paling bertanggung jawab. Bahkan ternyata Bang Toat terus bulak-balik tenda karena khawatir menunggu kami yang tak kunjung datang.
Bang Toat langsung menyuruh kami untuk
mengganti baju. Sementara kami mengganti baju, Bang Toat dan Agus langsung
memasak air, membuatkan makanan dan minuman untuk menghangatkan badan kami.
****
Pukul 23.10 kami dapat berkumpul kembali
dengan personel komplit di tenda, tertawa kembali, menceritakan pada Bang Toat
dan Agus tentang perjalanan kami yang sudah hampir membuat kami menginap di
hutan mati di tengah hujan dan angin. Bang Toat dan Agus menyanggah cerita kami.
“Disini gak hujan. Hujan ya itu
tadi pas siang, begitu kalian pergi sampe sore-lah udah gak hujan lagi. Liat
aja tenda udah kering lagi. Gua keringin tadi,” kata Bang Toat.
Ya, wajar sih, saya memang sering mendengar
jika di atas gunung hujan kadang turun tidak merata. Yang penting saat ini kami
sudah berkumpul lagi, dan bahagia sekali saat melihat Fatkhan yang mulai
berjoget-joget konyol lagi, bercanda, dan tertawa lagi, sangat berbeda dengan
kondisi saat di hutan mati tadi. Kalau kata Agus sih, itu karena faktor
energen. Hahaha..
Selesai makan, kami bergegas untuk
beristirahat karena badan sudah sangat lelah. Sleeping bag saya ternyata sudah kering, hanya bagian bawah yang
masih basah. Tak apalah yang penting merem dengan lega dan bahagia.
****
06.10 Sarapan..
Bang Toat dan Agus bercerita, semalam tidak
bisa tidur. Teja mengalami kedinginan yang luar biasa. Seluruh badannya
menggigil, hingga harus diapit oleh Bang Toat dan Agus agar sedikit hangat.
Cuma Fatkhan yang bisa tidur pules.
Pukul 07.30 beres-beres, kemudian berdoa
bersama sebelum turun ke tempat parkiran.
Kami mendapat kabar jika Pak Iwan tidak dapat
menjemput kami karena sedang berada di Jakarta, paling jika mau menunggu, beliau baru
bisa menjemput siang, itupun tanpa kepastian. Jika menunggu bisa-bisa kami
bermalam kembali di sini. Akhirnya kami memutuskan untuk ngeteng.
![]() |
kelakuan Bang Toat dan Agus :D |
![]() |
Ini mereka yang anteng mantengin Bang Toat dan Agus |
![]() |
ini ceritanya pose... ah sudahlah.. |
Pukul 11.30 dari parkiran, kami ngeteng dari kawasan tempat parkir Papandayan, kami
turun ke jalan raya menggunakan mobil kap terbuka, perorang dikenakan ongkos
Rp. 20.000,-. Memakan waktu sekitar setengah jam untuk kami sampai di jalan raya.
Di sini saya berpisah dengan teman-teman
LARON UNSIKA setelah kebetulan mendapatkan elp yang langsung menuju ke Bandung, dengan ongkos Rp. 35.000,-.
Sementara teman-teman LARON melanjutkan perjalanan pulang dengan menaiki angkot
ke arah terminal, kemudian dilanjutkan dengan menaiki bis ke arah Karawang.
Dengan sampainya saya di Bandung tepat saat
adzan Ashar, nampaknya perjalanan menuju puncak Papandayan pun resmi berakhir.
Bersyukur, saya masih diberikan kesempatan untuk belajar dan terus belajar atas
semua kejadian yang terjadi selama mencari puncak Papandayan. Terus terang, ini
adalah perjalanan yang paling berkesan.
Beberapa hari setelah kepulangan saya dan
teman-teman LARON dari puncak Papandayan, saya mendapatkan info tentang
hilangnya survivor di gunung Sindoro sedari
hari Kamis, 2 April 2015, dan baru berhasil ditemukan pada tanggal 15 April
2015 dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Entah benar atau tidak, pantas dipercaya atau
tidak, ada satu obrolan antara orang yang dapat berinteraksi dengan
makhluk yang menyembunyikan survivor tsb.
Pepatah, “Ambil kata-kata yang baik sebagai pelajaran, jangan lihat siapa yang
berbicara,” nampaknya memang benar.
‘Dahulu gunung dijadikan sebagai tempat sunyi, tempat untuk orang yang mendakinya untuk mencari ketenangan, mendekatkan diri pada penciptanya. Namun, saat ini gunung telah menjadi tempat bersenang-senang, menjadi tempat ajang menyombongkan diri dengan sifat manusia yang selalu merasa ‘besar dan bisa’. Manusia yang salah kaprah dengan melakukan pendakian untuk bisa mengalahkan alam, menjinakkan alam. Padahal, pendakian sesungguhnya adalah ajang untuk mengalahkan diri sendiri, mengalahkan keegoan diri dari rasa tinggi hati. Memang manusia menyadari dan mengagumi karya Tuhan saat berada di puncak, keimanan mereka menguat, namun semuanya kembali menurun seiring mereka berjalan menuruni puncak, dan hilang kembali saat berada di bumi.”
Saya tertampar, ya, saya manusia yang rasanya
memiliki rasa itu juga.
Saya dan teman-teman yang merasa sudah
terlalu meremehkan puncak gunung Papandayan yang bisa dibilang tidak terlalu
tinggi, bahkan masih berada dalam batasan gunung dengan puncak yang rendah.
Sehingga saat berangkat ke puncak, kami tidak membawa perbekalan makanan, semua
kami tinggalkan di tenda. Padahal jelas tidak tahu berapa jauh perjalanan
menuju puncak, hanya berbekal info dari pendaki lain yang mengatakan bahwa
menuju puncak hanya tinggal menempuh sedikit perjalanan lagi. Kami tidak tahu berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak, dan yang terpenting, kami
bukan Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selama di perjalanan ke puncak.
Apalagi setelah mengetahui lokasi ditemukannya survivor di gunung Sindoro yang sangat berjauhan dari trek pendakian..
![]() |
image source : twitter.com |
Apa yang kami lakukan saat itu, rasanya
hampir sama seperti apa yang dilakukan oleh survivor
di gunung Sindoro, tidak membawa perbekalan yang cukup, dan terlalu mengganggap
enteng perjalanan terlihat dari alm yang hanya menggunakan kaus, tidak membawa jaket. Yang membedakan hanya, mungkin kami masih bernasib jauh
lebih baik, dan sedang diberikan pelajaran oleh Tuhan untuk tetap membumi dan
selalu mengingat-Nya.
Terimakasih sekali lagi saya ucapkan pada tim
Gunung Papandayan, Bang Toat, Bella, Fatkhan, Agus, dan Teja yang sudah
mengajak saya untuk ikut bergabung. Semoga tidak kapok mengajak saya.. hahaha..
Thanks bro!
Terakhir, saya ingin mengucapkan turut
berduka cita atas meninggalnya Ahmad Zaenuri, survivor yang hilang di Gunung
Sindoro, semoga amal ibadah alm diterima oleh Allah SWT, dibukakan pintu Surga
selebar-lebarnya, dan semoga diberikan terus ketabahan kepada sanak, keluarga,
dan sahabat yang ditinggalkannya. Aamiin.
Kejadian yang dialami Alm menjadi perhatian besar bagi teman-teman pendaki se-Indonesia, dan telah menjadi pelajaran yang
sangat berarti. Ya, semuanya setelah terjadi, hanya penyesalan yang tersisa,
maka sebelum penyesalan itu datang, lebih baik kita kurangi kemungkinan
kedatangan penyesalan tersebut dengan lebih bijaksana dalam pengambilan
keputusan. RIP.
≫≫> Selesai.
1 komentar
wow sharingnya keren banget. gunung papandayan bagus juga tuh kelihatannya.. ooo iyaa kalau ingin tahu cara membuat web gratis yukk disini aja..
ReplyDelete