Rayla Nayla
20:32:00(Sumber : wallup.net : "Women Pacific Ocean Sunset Silhouette" ) “Maaf, aku gak bisa,” satu jawaban yang tidak pernah a...
20:32:00
(Sumber : wallup.net : "Women Pacific Ocean Sunset Silhouette" ) |
“Maaf, aku gak bisa,”
satu jawaban yang tidak pernah aku harapkan untuk terucap dari mulutnya.
Aku tak beranjak dari
tempat dudukku. Memandangi kosong matanya yang tersita oleh cup berisi hot chocolate yang sudah dingin, tepat di hadapannya. Meja yang aku
dan Nay tempati masih diisi dengan sunyi. Tak ada satu katapun yang keluar dari
mulutku, pun dengan Nay. Aku sibuk memikirkan apa yang sedang berputar-putar di
dalam kepala Nay, seiring tangannya yang tengah sibuk memutar cup di hadapannya, berulang. Mungkin Nay
sedang menunggu hot chocolate
dinginnya berubah menjadi panas kembali? Jelas itu tak mungkin, Nay, sadarlah.
“Nay,” aku coba
memanggilnya. Aku tahu panggilanku akan sia-sia. Nay saat ini memang tepat
berada di hadapanku, tapi selama tiga jam ini aku merasa sedang makan malam
bersama patung yang bernafas, “Kenapa, Nay?” tanyaku lagi.
Aku dapat mendengarkan
tarikan nafasnya yang dalam, sebelum Nay bergerak untuk membenarkan posisi
duduknya. Kini, matanya tampak ragu untuk menatap mataku. Mulutnya nampak berat
untuk mengucap, “Kris, kamu harus bisa membenci aku,” katanya pelan.
“Maksudnya?” tanyaku.
Nay terdiam kembali.
Café semakin sepi. Aku dan Nay adalah pelanggan terakhir yang berada di lantai
dua. Memang sudah biasa bagi kami untuk pulang beberapa menit saja sebelum café
tutup, atau tetap bertahan sebelum ada waitress
datang menghampiri kami dan memberi tahu jika café akan tutup. Biasanya, aku
menghabiskan waktu dengan membuat Nay yang pendiam ini tertawa, tapi beberapa
hari belakangan ini, aku merasa waktu kami telah terbuang sia-sia. Aku yang
hanya menghabiskan waktu dengan melihat Nay melamun sambil memutar cup, begitu saja.
Aku menarik kursiku
lebih ke dalam, kemudian menundukkan punggungku, untuk melihat wajah Nay yang
masih menunduk, lebih dekat.
“Aku hanya mencoba
untuk jujur sama perasaanku selama ini, Nay.”
“Gak, kamu gak boleh,
Kris,” Nay akhirnya bicara, suaranya berat, “Aku bukan wanita yang baik buat
kamu,”
“Tapi kamu yang
terbaik bagi aku, Nay,”
Nay menghela nafas,
panjang. Tangannya yang sedari tadi memutar cup, dia biarkan jatuh di atas
meja, “Kris, Kamu akan kecewa setelah tahu semuanya-” Nay menatap mataku,
matanya sembab.
“Nay..” Aku memotong
pembicaraan Nay, namun tak sempat mengucapkan apapun, Nay sudah memotong kembali.
“Kris, aku udah gak
suci lagi,”
Aku dan Nay terdiam.
Aku memberikan waktu pada kepalaku beberapa saat untuk mencerna perkataan Nay.
Aku tak mampu mengatakan apapun. Ucapan Nay bagai pisau yang berhasil memotong
kepalaku, kemudian mencabik-cabik isinya dan membuang seluruh bagian dari
otakku, hingga tak tersisa apapun disana. Aku tak dapat memikirkan apapun. Aku
bagaikan idiot yang tak mengerti apa yang dikatakannya, hingga ingin kembali
menanyakan, “Gak suci lagi?” namun lidahku tercekat.
Nay menatapku lebih
dalam, matanya sembab, sebelum pipinya berubah menjadi kemerahan, dan basah
oleh air yang keluar semakin deras di antara sudut matanya.
“Sudah dua bulan aku
gak menstruasi, aku takut, Kris.” Tetes-tetes air tak terbendung lagi di
matanya. Mengalir semakin deras hingga tak tertahan jatuh di tangannya, “Aku
begok, Kris! Aku rendah! Aku-”
Aku segera beranjak
dari tempat dudukku, cepat aku berdiri di samping Nay, dan memeluknya. Nay
menangis, semakin menjadi. Suaranya tertahan di dadaku. Sementara Aku masih tak
mengerti.
****
Senja, tak ingat
kapan pertama kalimya aku duduk di atap suatu bangunan kosong yang berada di
samping landasan pesawat setiap sore. Mengagumi sang jingga yang bersembunyi di
balik awan, namun tetap sinarnya mampu lolos melalui celah-celah awan, dan
menjamahi setiap jengkal langit sore. Senja mungkin tak pernah sadar, jika
mudah baginya untuk dapat membuat manusia terkagum-kagum. Ya, senja seperti
wanita yang saat ini ada di sampingku. Biasanya, dia akan tersenyum sendiri sambil
merapikan rambut panjangnya yang sempat berterbangan ditiup angin dari pesawat
yang mendarat, namun setelah semua kejadian ini, dia berbeda. Senja tak lagi
mampu mengundang senyuman hadir di wajahnya.