#MenikahimuItuPilihanku
Aku pulang padamu
bandung
bercerita
cerita pendek
Home
Aku Pulang Padamu
11:10:00![]() |
pict source: www.videezy.com |
Sudah
hampir jam sebelas malam, namun tidak juga terlihat tanda-tanda kau akan
datang. Selama ini Aku memang terlalu percaya diri, dan tak tahu diri. Seharusnya
Aku lebih mengerti tentang hati, dan apa yang ada di dalam hatimu yang telah
lama Aku abaikan.
Aku
melepaskan jaket dan membiarkannya menggantung di pundakku. Sama dengan lima
tahun lalu, saat Aku berjalan di tempat ini dengan jaket yang menggantung di
bahuku, dan engkau yang menggamit tangan kiriku sepanjang jalan, seakan takut
jika Aku pergi dan tak pernah kembali. Namun kali ini, tak ada engkau yang
menggamit tanganku, hanya ada angin-angin yang menjadikan tubuhku sebagai
santapan makan malamnya.
Aku
telah meninggalkan Bandung selama lima tahun. Meninggalkan kota ini bukanlah
suatu hal yang sulit jika saja engkau bukan penghuninya. Dan saat ini aku
kembali untuk alasan pekerjaan, walau sebenarnya masih ada alasan tak masuk
akal lainnya yang membuatku dapat menandatangani surat perpindahan tugas ke
kota ini, hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Engkau.
Aku
masih ingat hari terakhir sebelum aku pergi. Jaket yang sekarang sedang memeluk
pundakku adalah jaket pemberianmu. Jaket berwarna abu dengan aksen hitam, jaket
yang sengaja kau pilih karena warnanya adalah warna favoritku.
“Aku
beli ini buat kamu pake selama di sana,” katamu dulu sambil memberikan
bungkusan berisi jaket yang terus aku pakai hingga sekarang, setiap kali Aku
merindukanmu.
“Di sana kan panas masa ngasih Aku jaket?”
“Ya, justru karena di sana panas, jadi kamu
harus pake jaket. Kalo gak, nanti kamu jadi hitam, pas balik lagi ke Bandung
aku udah gak ngenalin kamu, gimana coba?”
Aku
tersenyum sendiri mengingat hari itu. Aku menerima jaket pemberianmu beserta
senyuman manis tertulus yang tergambar jelas di wajahmu. Masih juga teringat saat
aku memakai jaket pemberianmu, dan ternyata ukurannya terlalu besar untuk badan kurusku. Apa kau masih ingat apa yang kau katakan saat itu? Aku masih
mengingatnya sampai sekarang.
“Sengaja
Aku beli yang ukurannya lebih besar, biar bisa muat dipakai bertahun-tahun
sampai kamu gendut nanti. Jadi, kamu bakalan terus inget aku dalam waktu yang
lama, dalam jarak yang jauh. Kalau nanti tiba-tiba kamu pengen banget pake
jaket itu sebulan penuh gak ganti, mungkin saat itu Aku lagi rindu banget sama
kamu satu bulan penuh gak bisa berhenti mikirin kamu.”
Aku
kehilangan kamus bahasa di otakku, aku terdiam tak dapat mengatakan apapun. Pipi
bulatmu memerah, matamu yang berkilau, seperti hendak menangis namun tak juga kau
biarkan air mata keluar, malah garis senyuman yang semakin kau tarik lebar. Tak
kusadari mataku terasa panas, ada sesuatu yang mengalir hangat di pipiku. Aku
segera menarikmu dalam dadaku, dan kita pun tenggelam dalam satu pelukan yang
menyesakkan, dengan napasmu yang hangat berburu di leherku membuat malam itu
semakin hening. Aku tak ingin kau melihat air mataku yang berjatuhan tak
terkendali. Aku pun tak ingin kau tahu tentang kepalaku yang tengah sibuk
memikirkan apa saja yang akan aku lakukan saat jauh, apa yang akan terjadi bila
kita berjauhan, dan apa benar kelak akan tiba saatnya Aku pulang padamu atau malah
pulang saat kehilanganmu?
Hari-hari
berikutnya, kita berubah menjadi
sepasang cinta spesial yang berbagi rindu dalam jaringan telepon, dan kelangsungan
romantisan kita yang sangat bergantung pada kesehatan bapak tukang pos.
Jarak
yang berjauhan menjadikanmu sebagai seorang wanita yang tak percaya diri. Kau
terlalu merendahkan dirimu dengan terlalu cemburu pada setiap wanita yang
menyapaku di jejaring sosial. Kau terlalu membuang waktumu untuk pertanyaan tak penting dan sudah seharusnya kau tahu jawabannya.
“Kamu.
Gak pernah ada yang lain, cuma kamu. Jarak ini harusnya jadi suatu hal yang
mendewasakan kita dengan saling percaya,” kataku yang kau sambut dengan
tangisan di ujung sana. Aku ingin memelukmu saat itu, tapi tanganku tak pernah
sampai.
Hari,
minggu, bulan, tahun berikutnya, Aku semakin merasa bersalah dengan membiarkan
kau selalu menangis setiap malam, tidak, mungkin saja sepanjang hari, aku tak
tahu dan kau tak mengaku.
Apa
Aku masih pantas disebut lelaki? Jika pasangannya yang jauh disana menangis dan
aku tak berdaya disini sendiri, hanya mendengarkannya dari kejauhan. Aku tak
bisa memberi perhatian seperti yang wanita pada umumnya inginkan. Aku pecundang!
Kemudian
semuanya berakhir.
Kukira
semua akan membaik setelah itu, ternyata tidak. Semua menjadi jauh lebih buruk.
Aku kira dengan merelakan kau untuk mencari lelaki lain yang dapat memberikan
perhatian, dan cinta yang lebih besar padamu, hingga kau menemukan kebahagian
yang sebenarnya akan dapat membuatku bahagia juga. Ternyata Aku salah.
Tiga
tahun lebih Aku tak mendengar kabar apapun tentangmu. Kau mendadak berubah
menjadi buronan paling dicari nomor pertama di hidupku. Nomor handphone-mu sudah tak lagi dikenali
oleh handphone-ku, alamat rumahmu
sudah tak lagi dikenali oleh bapak pos langganan kita. Semua surat yang ku
kirim kembali lagi padaku, tanpa tersampaikan, tanpa sempat mendapati hembusan
napasmu dan senyumanmu saat membacanya, seperti dahulu.
Hingga
Aku mendapati kabar kau tengah menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang
sempurna karena keberuntungannya. Dia beruntung mendapatkanmu. Dia yang hendak
akan melamarmu namun tak juga mendapatkan jari manismu. Kemudian pergi
meninggalkanmu. Mungkin dia tidak beruntung.
Entah
Tuhan telah merencanakan apa saat Aku diberi kesempatan untuk menjejakkan kaki
kembali di Bandung. Aku pantas bahagia. Kemudian Aku dipertemukan dengan
seorang teman yang dapat mempertemukan kau dan Aku, namun kemudian ternyata kau
tak datang. Ya, Aku memang layak untuk dikecewakan.
Ingatanku
berpendar seketika saat temanmu menelponku, hembusan napasnya tergesa.
“Ke
rumah sakit sekarang!” katanya. Kata-kata berikutnya berburu dengan napasku
yang berlarian mencari taksi untuk mengantarku kesana. Rumah sakit.
Ini
sungguh bukan kisah yang romantis. Kita tak bertemu hampir lima tahun, dan kini
kau menyambut kedatanganku dengan tertidur disana. Entah kau dengar atau tidak?
“Aku
ingin menikahimu. Sungguh ingin. Lima tahun ini Aku banyak belajar. Aku
mengerti jika jarak bukanlah suatu alasan untuk tidak mencintaimu, jarak
bukanlah alasan untuk tidak membina hubungan yang serius denganmu, dan jarak
juga bukan alasan yang tepat untuk meninggalkanmu. Aku tak mau lagi dikalahkan
oleh jarak. Aku ingin menikahimu untuk mengalahkan jarak. Aku tahu Aku egois,
pergi selama ini dan mengecewakanmu berulang kali. Dan sekarang Aku datang
begitu saja, mengucapkan ini seenaknya saja, tanpa memikirkan perasaanmu, rasa
sakitmu selama ini. Aku hanya ingin kamu tahu, sungguh Aku cinta kamu. Aku
menyesal atas semua yang pernah terjadi,” Aku menggenggam tanganmu erat.
Matamu
masih terpejam, kau masih bernapas dengan bantuan selang, dengan balutan perban
yang menutupi kepalamu dan tampak noda merah disana. Tanpa kusadari mataku
terasa panas kembali, dan Aku tak sanggup menahan air hangat yang membasahi pipiku,
Aku menenggelamkan wajahku di tanganmu.
“Kenapa?”
Aku
mengangkat kepalaku. Tanganmu bergerak lemah menggenggam tanganku. Dengan susah
payah kau membuka mata.
“Kenapa
Kamu mau nikah sama Aku?” suaramu pelan.
“Karena
menikahimu adalah pilihanku,” jawabku singkat. Aku berusaha agar tidak ada air di
mataku yang menetes kembali, “Kamu satu-satunya wanita menyebalkan yang gak
pernah bisa aku benci. Kamu satu-satunya wanita yang ngasih aku jaket kegedean
cuman biar awet dan biar aku mau ngegedein badanku. Kamu wanita paling posesif yang
ngebuat Aku sadar, kalau memang cinta itu harus dijaga, cinta harus saling
percaya, dan cinta memang harus selalu diperjuangkan. Kamu wanita yang bisa
ngebuat aku nangis hingga ketawa kapanpun, tanpa butuh alasan apapun. Kamu wanita
yang mampu bertahan, selama lima tahun ini menunggu aku datang, dan selalu
yakin aku akan datang untuk memasangkan cincin di jari manismu walau penuh
dengan ketidakpastian.”
“Pede’,”
katamu pelan.
Aku
dapat melihat mata tulusmu yang sangat aku rindukan. Aku rasakan lagi hangat
manis senyummu, dan genggaman tangan halusmu yang menjadi paduan resep yang
tepat untuk terus mencintaimu.
Aku
tersenyum, “Aku masih simpan jaket ini selama lima tahun. Bahkan aku selalu pakai jaket ini tiga tahun terakhir saat kamu gak ada kabar. Aku sadar satu hal,
Kamu masih menunggu aku kembali dengan rindumu yang tak pernah berhenti selama
tiga tahun itu. Aku pun sama.”
Aku
mengambil cincin di kantong celanaku. Perlahan Aku memasangkannya pada jari
manismu. Sungguh, kau tampak manis dengan perban putih bernoda darah, akibat
terlalu ceroboh menyeberang jalan dan menjadi korban dari sopir mobil pengecut yang tak bertanggung jawab, saat hendak menemuiku, beberapa jam lalu.
“Dengan
sungguh. Deandra Artika Noviandra, jadilah pendamping hidupku. Menikahlah
dengan ku.”
Kau
mengangguk dan tersenyum. Sedetik kemudian, Aku menemukan jawaban dari semua
pertanyaan yang mengghinggapi kepalaku. Ternyata Aku mampu kembali pulang.
Akhirnya Aku pulang padamu.
Nb : Cerita Pendek ini adalah cerita pendek yang ditulis oleh Cahyo Prasetiyo, terdapat dalam antologi buku #MenikahimuItuPilihanku yang diterbitkan di nulisbuku.com tahun 2014.
0 komentar